Pulau Bali sebagai daerah wisata
sudah terkenal di dunia. Pulau bali dikenal akan keindahan dan keelokannya.
Dengan keindahan dan keelokan alamnya yang terkenal sudah tentunya mengundang
kekaguman dari orang Bali sendiri dan orang luar Bali. Kekaguman tersebut bukan
saja dari keindahan alamnya, tetapi juga dari budaya, spiritualisme, keramahan,
adat istiadat, dan agama sehingga berbagai sebutan untuk Pulau bali diberikan
oleh pengagumnya, ada yang menyebut Pulau Dewata, ada pula yang menyebut Pulau
Seribu Pura. Hal ini semakin menyebabkan pengagum pulau Bali menjadi betah utuk
menghabiskan waktunya di Bali. Kemegahan Pulau Bali yang menjadikan Pulau Bali
sebagai daerah wisata, menjadikan berbagai budaya dari luar masuk ke Pulau
Bali. Pembangunan fisikpun dilakukan demi menopang pariwisata tersebut.
Gedung-gedung perhotelan dibuat, pasar swalayan dimana-mana, Restoran
bertaburan, tempat hiburan beroperasi sampai pagi. Jika orang Bali terlena akan
kemegahan dunia wisata yang bergelimang kehidupan material bisa saja jati diri
sebagai orang bali yang relegius berdasarkan Hindu Bali akan sirna ditelan
jaman. Hindu Bali yang membentuk karakter orang bali sedemikian rupa sehingga
orang bali menjadi ramah dan bersahabat, merupakan akar dari berbagai kerifan
lokal berupa Tri Hita Karana yaitu Tiga hubungan harmonis manusia dan Tri
Kaya Parisudha yaitu tiga perbuatan yang menyebabkan kebaikan.
Sebagian besar sekarang ajaran agama
hindu telah kembali disesuaikan dengan Weda yang ada di India, seperti
pengucapan mantra dengan bahasa sansekerta seiring dengan mudahnya Tirta
Yatra atau pergi ke India untuk melakukan pengamatan langsung kehidupan
orang hindu disana dan menimba ilmu mengenai agama Hindu di India. Hal
ini, menjadikan Agama Hindu Bali sendiri mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan jaman.
Namun sebenarnya, agama hindu asli
di Bali tidak seperti yang ada di India. Karena Hindu yang ada di Bali memiliki
karakter dan tata upacara sendiri walau Agama Hindu berasal dari India. Tiga
kerangka ajaran agama hindu yaitu Tatwa, Susila, dan Upakara
dilakukan dengan cara penerapan yang berbeda di Bali. Agama Hindu Bali adalah
agama yang dipeluk oleh orang bali pada umumnya, namun disetiap daerah di Bali
memiliki penerapan yang berbeda-beda sesuai dengan desa kala patra yang
ada. Desa kala patra itu sendiri merupakan kebiasaan yang dilakukan di suatu
daerah. Ini berarti bahwa penerapan agama hindu di Bali belum tentu sesuai
dengan teks Weda atau istilah-istilah sansekerta yang berasal dari India. Hindu
Bali juga berkembang dengan melalui proses-proses perubahan seiring dengan
sejarah yang membentuknya terutama pada saat datangnya Catur Sanak dari Panca
Tirta dan Kerajaan Majapahit masuk ke Bali. Penerapan agama hindu bali
sendiri ikut berubah dengan mengikuti faktor penguasa yang mempengaruhi, namun
tidak semua orang bali tunduk kepada perubahan sejarah yang berusaha merongrong
keyakinannya tentang menerapan upacara-upacara keagamaan. Orang bali yang tidak
tunduk terhadap pengaruh penguasa pada masa perubahan sistem keadaan zaman
lampau adalah orang Bali asli atau yang sering disebut dengan Bali Aga.
Bali Aga mempunyai tata cara tersendiri dalam prosesi keagamaan yang
dimiliki. Bali Aga tidak terikat pada tata cara yang dilakukan oleh
orang hindu di bali pada umumnya, dikarenakan orang Bali Aga tidak
terlalu terpengaruh oleh konsep hindu yang dibawa oleh Majapahit. Dalam
perkembangan penerapan ajaran agama hindu sendiri di bali, penerapan ajaran
agama hindu oleh Bali Aga sendiri memiliki perbedaan-perbedaan dengan
agama hindu yang ada di Bali pada umumnya, baik dalam pujawali, maupun
sarana-prasarana yang dilakukan untuk pujawali (upacara keagamaan)
tersebut. Pada umumnya Bali Aga terdapat pada desa-desa yang berada di
pegunungan atau desa-desa tua, salah satu desa untuk bali aga terdapat di Desa
Sukawana, Kintamani. Kabupaten Bangli-Bali yang merupakan salah satu desa tua
atau Desa Bali Mula atau Desa Bali Aga.
Desa Sukawana adalah cerminan
kehidupan Bali Aga yang memiliki konsep kehinduan sendiri yang bertahan
dari perkembangan sejarah Hindu Bali sendiri sehingga Bali Aga yang
terdapat di Desa Sukawana sendiri sangat berbeda dengan Hindu Bali pada
umumnya. Seperti halnya saat pujawali yang dilakukan di Pura Penulisan
Di Bukit Panarajon ( Bukit Penulisan) serta Saba di Pura Bale Agung yang
tidak diperkenankan menggunakan Pandhita atau Ida Pedanda sebagai pemuput
pujawali. Oleh karena itu sangat menarik apabila dikaji tentang sejarah dan
perbedaan hindu bali dari perspektif Bali Aga di Desa Sukawana.
Selayang Pandang Hindu Bali Di Desa
Sukawana, Kecamatan Kintamani, Bangli-Bali.
Desa Sukawana berjarak kurang lebih
80 KM dari pusat Kota Denpasar, Berada di wilayah Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli. Tidak terlalu sulit untuk menemukan desa ini jika memakai
jurusan kintamani-singaraja. Sebagian besar wilayah desa ini digunanakan untuk
pertanian. Peternakan ayam petelor juga terkenal disini serta yang paling
terkenal adalah Desa Sukawana merupakan pusat anjing kintamani. Tetapi keunikan
yang paling mendalam yang membedakan desa ini dengan desa di Bali pada umumnya
adalah tentang keagamaannya.
Desa Sukawana adalah desa tua
atau desa Bali Mula yang semua penduduknya adalah keturunan Bali Aga.
Sukawana berarti suka di hutan. Karena konon orang Sukawana dahulu hidup
di hutan. Salah satu banjar di Desa Sukawana bernama Kutadalem, yang secara
etimologi berarti kuta berarti kota dan dalem berarti istana,
jadi Kutadalem inilah yang dipercaya sebagai ibu kota Kerajaan Bali Dwipa dulu
sebelum dipindahkan oleh Raja Jaya Pangus ke Balingkang.
Melihat sejarahnya Sukawana yang
dahulu merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa maka dapat dicermati
bahwa sebenarnya terdapat Pura-Pura Kerajaan Bali Mula di Sukawana,
disamping adanya pura kahyangan tiga, dan pura leluhur. Contohnya adalah Pura
Puncak Penulisan atau Pura Bukit Panarajon atau Pura Tegeh Kahirupan yang merupakan
pura tertua di Bali yang disungsung (dipuja) bukan saja oleh masyarakat
Desa Sukawana tetapi seluruh masyarakat Bali, dan ada pula Pura Utus yang
selalu ramai oleh para pemuja dan pengempon Pura tersebut.
Selain Pura- Pura tersebut terdapat
Kahyangan Tiga yakni Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem yang juga wajib
dilakukan Pujawali oleh Masyarakat Desa Sukawana. Selain Pura Kahyang
Tiga Juga terdapat Pura Subak yang terdapat di setiap Subak di wilayah Desa
Sukawana. Untuk Keluarga Besar suatu keturunan terdapat Pura Dadya, sedangkan
Untuk pekarangan rumah terdapat Sanggah Kemulan yang berada di setiap
pekarangan rumah penduduk. Oleh karena, masyarakat sukawana tidak
mengenal sistem kasta maka tidak terdapat Pura Kerajaan bagi orang – orang berkasta.
Pura-Pura tersebut wajib dilakukan pujawali
oleh pengemponnya (penyungsung, pemuja). Dalam hal ini masyarakat
Bali Aga Desa Sukawana sebagai pengempon wajib melakukan pujawali sesuai
waktu yang telah ditentukan. Sehingga masyarakat Bali Aga sendiri melakukan
prosesi keagamaannya dengan mengikuti tradisi leluhur yang ada dan petunjuk
pemimpin agama Di Desa Sukawana yang disebut dengan Jero Kubayan.
Tinjauan Umum Tentang Hindu Bali dan
Bali Aga
Hindu bali adalah agama hindu yang
ada di Bali. Hindu di Bali adalah agama hindu yang telah berkembang sesuai
dengan ajaran yang diberikan dari waktu ke waktu oleh para Mpu atau Rsi pada
zaman dahulu. Sebelum kedatangan para rsi tersebut sebenarnya telah ada
kepercayaan orang bali asli pada saat itu yang disebut dengan waisnawa yang
mirip dengan ajaran Siwa-Budha. Sedangkan untuk sebutan Bali pada saat sebelum
kedatangan majapahit disebut dengan walidwipa, Hal ini dapat diketahui
dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan
oleh Sri Kesari Warmadewa
pada tahun 913
Masehi yang menyebutkan kata “Walidwipa“. Demikian pula dari
prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti
prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Untuk Orang Bali sendiri istilah Bali
Aga atau Bali Mula dikenal pertama kali sejak adanya ekspedisi Rsi
Markendeya ke Bali. Dalam Lontar Markandeya Purana disebutkan bahwa Rsi
Markandeya yang ingin membuka hutan di Bali dengan mengajak para pengikutnya
dari jawa. Bali Aga atau Bali mula adalah sebutan untuk orang asli bali yang
sudah ada sebelum kedatangan orang dari luar bali (majapahit). Setelah masuknya
majapahit dimana Kerajaan Bali Dwipa dapat dikalahkan maka Bali Aga
lari ke pegunungan. Dengan demikian, kemudian orang bali dibedakan menjadi 2
yaitu orang bali asli (Bali Aga) dan orang bali keturunan majapahit.
Dalam Prasasti Sukawana A1
tercerminkan bahwa pada zaman bali dwipa di bidang agama, dipengaruhi
oleh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih yang terasa kuat.
Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang
yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid
atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan
menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada
zaman Hindu bali dwipa hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan
berundak-undak.
Kepercayaan pada dewa-dewa gunung,
laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu majapahit
tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu
dari majapahit. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi
tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat
diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu
Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna.
Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah
agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua
aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama
Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan
adanya mpungku Sewasogata ( Mirip Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.
Sejarah Dan Perkembangan Hindu Bali
Dan Bali Aga Di Bali
Perkembangan hindu bali sangat erat
kaitannya dengan masuknya kerajaan majapahit ke Bali. Prasasti Blanjong
merupakan prasasti setelah kedatangan Rsi Markadeya datang ke Bali, dalam
prasasti ini dikemukan bahwa bali dwipa diperintah oleh raja
Khesari Warmadewa yang berstana di Singhadwala. Raja Khesari Warmadewa juga
disebut dengan raja Ugrasena. (915-945 M), setelah meninggal dan dimandikan
dengan air madatu raja Ugrasena digantikan oleh raja Jayasingha Warmadewa. Raja
Jayasingha Warmadewa digantikan oleh Raja Jayasadhu Warmadewa (975 M – 983 M), setelah
itu wafat digantikan oleh seorang Ratu yang bernama Sri Maharaja Sriwijaya
Mahadewi (983 M – 989 M). Kemudian digantikan oleh Dharmodayana (989 M – 1011
M) yang disebut juga Raja Udayana. Raja Udayana menikah dengan
Gunapriayadharmapatni alias mahendradatta dari kerajaan Medang Kemulan jawa
timur yang kemudian bergelar Sri Gunaprya Dharmmapatni dan dari perkawinannya
menghasilkan 3 orang anak yaitu : Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.
Pada jaman pemerintahan Sri Gunaprya
Dharmmapatni inilah terjadi perubahan besar-besaran terhadap segala aspek
kehidupan di Bali baik di dalam sistem dan struktur pemerintahan, tata cara
kemasyarakatan, maupun bidang lainnya termasuk bidang keagamaan atau lebih
dikenal sekarang dengan Politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama). Jaman
inilah yang kemudian dikenal dengan jaman perubahan, yang memberikan corak dan
warna terhadap kehidupan masyarakat bali, yang menjadikan dari situasi
pertentangan menjadi persatuan dan kesatuan. Sangat penting diketahui bahwa
terjadinya konflik diakibatkan oleh adanya perbedaan kepercayaan yang dianut
oleh penduduk Bali yang mayoritas adalah Bali Aga.
Ketika itu, penduduk Bali mengenal
adanya sad paksa (yang oleh peneliti barat disebut dengan enam sekte)
yaitu Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Bhayu dan Iswara, yang dalam
penerapannya sering membuat keresahan di masyarakat. Akibat keanekaragaman paksa
itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Hal ini menjadi problema social
yang terus-menerus yang sulit untuk diatasi oleh raja Sri Gunaprya
Dharmmapatni. Untuk itu Raja Sri Gunaprya Dharmmapatni mendatangkan Catur
Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirtha dari Jawa Timur yang
telah terkenal keahliannya di segala bidang aspek kehidupan. Perlu diketahui Panca
Tirtha adalah sebutan dari Panca Sanak keturunan Mpu Tanuhun yaitu
yang sulung bernama Brahmana Pandhita, kedua Mpu Semeru alias Mpu Mahameru,
yang ketiga Mpu Ghana, yang keempat adalah Mpu Kuturan alias Mpu Rajakreta, dan
yang bungsu adalah Mpu Baradah alias Mpu Pradah. Mereka itu dikenal
dengan Panca Pandita atau Panca Tirtha, yang juga digelari Panca
Dewata.
Catur Sanak yang didatangkan dari
Jawa Timur, didatangkan secara bertahap, yang kemudian mendampingi beliau dalam
pemerintahan, yaitu : Yang Pertama adalah Mpu Semeru alias Mpu Mahameru yang
memeluk ajaran Siwa., tiba di Bali pada jumat Kliwon, Wara Pujut, Hari
Purnamaning Sasih Kawolu, Chandra Sangkala Jadma Siratmaya, Tahun Saka 921 (999
M). selanjutnya beliau berparahyangan di Besakih, yang kemudian mendirikan
sebuah pura disebut ( Pura Ratu Pasek, sebagai Pedharman Warga Pasek ( Maha
Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dan Warga Pasek Kayu Selem. Mpu Ghana adalah
penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin Kliwon Wara Kuningan,
Pananggal Ping 7, tahun Saka 923 (tahun 1000 M), beliau kemudian berparahyangan
di Pura Dasar Buwana Gelgel. Lalu Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha aliran
Mahayana, yang tiba pada hari Rabu Kliwon, Wara Pahang, Madhuraksa, Tahun Saka
923 (tahun 1001 M), yang kemudian berparahyang di Padang (Pura Silayukti). Dan
yang terakhir adalah Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada haro
Kamis Umanis, wara Dunggulan, Sasih Kadasa, pananggal 1, tahun saka 971 (tahun
1049 M). beliau berparahyangan di Pura Lempuyang Madya.
Berdasarkan lontar Tatwa Siwa Purana
kedatangan Para Mpu dari Catur Sanak ini memberi pengaruh yang sangat besar
terhadap tatanan kehidupan keagaman di Bali. Oleh Raja Sri Gunaprya
Dharmmapatni, Mpu Kuturan diangkat menjadi Pakiran-kiran Ijro Makabehan
yang berfungsi sebagai penasehat raja. Keadaan Kerajaan Bali pada saat itu
adalah adanya kekacauan terhadap sad paksa yang ada di bali, untuk itu
Mpu Kuturan melalukan penelitian terhadap masyarakat Bali Aga. Atas
penelitiannya tersebut Mpu Kuturan mengadakan pasamuhan agung (rapat
Besar) yang mengumpulkan tiga kelompok yaitu Mpu kuturan sendiri sebagai
penganut aliran Budha Mahayana, tokoh-tokoh atau pimpinan masyarakat Bali
Aga yang terdiri dari sad paksa yang dijakan satu kelompok, serta
tokoh-tokoh agama aliran Siwa. Dalam pasamuhan agung tersebut disepakati
5 hal yaitu :
- Faham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan, yang mencangkup seluruh aspek kehidupan.
- 2. Dibentuk wadah desa pakraman, yang kemudian melahirkan Kahyangan Tiga yaitu Pura Bale Agung atau pura desa, sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan manifestasinya Dewa Brahma, Pura Puseh sebagai tempat memuliakan dan memuja sang Hyang Widhi Wasa atau menifestasinya Dewa Wisnu sebagai Pemelihara dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Disamping itu juga bangunan pura di sawah untuk krama subak (warga subak)
- Sebagai pemujaan leluhur dibuatkan pelinggih Rong Tiga (sanggah kemulan) di masing-masing Rumah.
- Tanah untuk Pura Kahyangan Tiga menjadi milik Desa Pakraman yang tisdak boleh diperjualbelikan.
- Tentang agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut Agama Siwa-Budha.
Dengan adanya keputusan dalam pasamuhan
agung tersebut maka tentramlah masyarakat Bali Aga. Masyarakat Bali
Aga menerima hasil tersebut dan mengubah cara keagamaan mereka dari aliran
waisnawa menjadi Agama Siwa-Budha. Sebenarnya masih banyak Mpu yang
berperan tentang perubahan keagamaan di Bali, Seperti Mpu Kamareka, Mpu Kul
Putih, Mpu Ketek dan lainnya yang semuanya keturunan Sanak Sapta Rsi, tetapi catur
sanak inilah yang paling terkenal di Bali.
Karena Airlangga menikah dengan
putri Raja Dharmawangsa (raja jawa timur) dan kemudian menetap di Jawa Timur.
Raja Marakata menggantikan Raja Udayana (Sri Gunaprya Dharmmapatni. Marakata
diberi gelar Dharmawangsa Wardana Marakatta Pangkajasthana Uttunggadewa
yang memerintah di Bali dari 1011 – 1022. Kemudian digantikan oleh anak Wungsu
(1049 – 1077) yang memerintah selama 28 tahun dan dikatakan selama
pemerintahannya keadaan negara aman tenteram. Anak Wungsu tidak memiliki
keturunan dan meninggal tahun 1077 dan di dharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak
Siring. Setelah Anak Wungsu meninggal, keadaan kerajaan di Bali tetap
mengadakan hubungan dengan raja-raja di Jawa dan ada dikisahkan seorang raja
Bali yang saat itu bernama Raja Bedahulu yang memiliki seorang patih yang
sangat sakti yang bernama Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna.
Pada saat Bali diperintah oleh Raja
Bedahulu, Majapahit berusaha untuk menguasai Bali. Tetapi Kryian Mahapatih
Gajah Mada benar-benar tahu bahwa kerajaan Bali tidak mungkin bisa ditaklukkan
apabila masih ada Ki Kebo Iwa yang menjaga Bali. Atas dasar itu, Mahapatih
Gajah Mada mengunakan siasat licik untuk menjebak Ki Kebo Iwa. Mahapatih Gajah
Mada mengundang Ki Kebo Iwa untuk datang ke Jawa untuk dinikahkan dengan Putri
majapahit kala itu, tetapi setelah datang ternyata Ki Kebo Iwa dibunuh disana
oleh Mahapatih Gajah Mada. Setelah kejadian itu, majapahit kemudian menyerang
bali dan akhirnya Bali Dwipa dengan Raja Bedahulu dapat dikalahkan dan Bali
berada pada kekuasaan Majapahit.
Setelah masuknya Kerajaan Majapahit
ke Bali, Kerajaan Majapahit kemudian berusaha untuk menyesuaikan segala hal
aspek kehidupan masyarakat Bali agar dapat diperintah dengan mudah oleh
Majapahit. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan
untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna
Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Penunjukan
Sri Kresna Kepakisan oleh Majapahit sebagai Raja Di Bali, tiada lain tujuannya
agar mempermudah pemerintahan yang dilakukan oleh Majapahit sendiri. Untuk
itulah Sri Kresna Kepakisan, berusaha menerapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh majapahit di Bali. Adapun kebijakan yang pernah diambil oleh Sri Kresna
Kepakisan adalah mengubah status Pura Babaturan Pangangasih sebagai parahyangan
Mpu Ghana menjadi pura kerajaan dan diberi nama Pura Dasar Buwana Gelgel. Namun
karena sebagian besar kebijakan Sri Kresna Kepakisan untuk mengalirkan Agama
Hindu Majapahit yang dalam prakteknya menyinggung keyakinan masyarakat Bali
Aga maka Bali Aga melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Ki
Pasek Gelgel dari Tampuryang. Majapahit mengetahui hal ini dan berusaha untuk
meredam pemberontakan tersebut agar tidak terjadi kekacauan di Masyarakat Bali.
Untuk itu Majapahit mengundang Ki Pasek Gelgel untuk berunding dan akhir
disepakati bahwa Bali Aga bebas untuk melakukan keyakinannya.
Ketika Kerajaan Majapahit mengalami
kehancuran dan masuknya agama islam ke Nusantara. Maka sebagian besar
masyarakat hindu menghindar dan bertahan di pegunungan. Ada juga yang melarikan
diri ke Bali. Melihat hal ini, seorang Pinandhita yang dikenal dengan
nama Dang hyang Nirarta pergi ke Bali untuk mempertebal keyakinan orang Bali
akan Hindu dan tentunya hal ini mengubah cara pandang masyarakat Bali tentang
keagamaan. Oleh karena itu, Dang Hyang Niratha juga disebut Pedanda Sakti
Wawu Rauh yang berarti pendeta sakti yang baru datang, disamping itu beliau
juga disebut Sang Hyang Dwijendra. Salah satu warisan Dang Hyang Nirartha
adalah Padmasana sebagai tempat pemujaan Siwa Raditya. Sebagai
penghormatan kepada beliau, setiap Pura yang didirikan oleh Dang Hyang Nirartha
disebut dengan Pura Dang Kahyangan. Namun perjalanan Dang Hyang Nirartha yang
di mulai dari Tanah Lot sampai Uluwatu sebagian besar dilakukan di pesisir
sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap keagamaan masyarakat Bali Aga.
Perbedaan Hindu Bali Dengan Hindu
Menurut Bali Aga Di Desa Sukawana
Telah diketahui bahwa Hindu Bali
mempunyai sejarah dan perkembangan yang sangat panjang. Masyarakat Bali Aga
yang terdapat di desa Sukawana adalah masyarakat yang leluhurnya dulu
memberontak terhadap hindu yang diterapkan oleh majapahit. Sehingga dalam
sektor keagamaan ,masyarakat Bali Aga di Desa Sukawana mempunyai tata
cara dan prosesi yang berbeda dengan Hindu yang terdapat di Bali Pada umumnya.
Oleh karena itu, masyarakat Bali Aga yang ada di Desa Sukawana sendiri adalah
masyarakat yang selalu menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya.
Penerapan dan prilaku keagamaan di
Desa Sukawana berbeda dengan hindu Bali pada umumnya. Adapun beberapa perbedaan
tersebut antara lain:
- Jro Kubayan, sebagai pemimpin tertinggi agama hindu Desa Sukawana. Ada 2 (dua) Jro Kubayan yaitu Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk yang merupakan panutan bagi umat untuk melakukan pujawali atau piodalan. Selain itu juga, Jro Kubayan juga dapat memerintahkan atau melarang segala sesuatu yang dilakukan oleh desa adat. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa Jro Kubayan merupakan pemimpin tertinggi adat di Desa Sukawana. Dalam pujawali atau piodalan yang ada pun harus dipimpin oleh Jro Kubayan, tanpa dipimpin oleh Jro Kubayan maka upacara tersebut tidak bisa dilaksanakan. Apabila Jro Kubayan meninggal Dunia maka akan dilakukan Upacara khusus keagamaan. Hal ini sangat berbeda dengan Hindu Bali yang bukan Bali Aga lainnya yang tidak mengenal Jro Kubayan, tetapi kalau di Tempat lain pemimpin upacara tentunya memakai Pinanditha atau Ida Pedanda dari keturunan Dayu atau Ida Bagus. Tetapi kalau di Desa Sukawana, Pinanditha dilarang sama sekali untuk memimpin upacara disana.
- Puja Sana, sebagai mantra pemujaan. Puja sana ini tidak seperti mantra Hindu yang menggunakan bahasa Sanserkertha, tetapi puja sana lebih menggunakan bahasa sehari-hari dengan disertai rasa iman yang tinggi kepada Ida Bhatara.
- Penjor, sebagai simbolis pemujaan di Desa Sukawana tidak dihias dengan apa-apa. Cukup dengan memajang hasil potongan pertama dari asalnya yang kemudian segera dipasang di Pura. Hal ini sangatlah berbeda penjor di Bali lainnya diman penjor tersebut harus dihias dan diisi berbagia macam jenis buah dan hasil pertanian.
Penutup
Kehidupan Hindu Bali memiliki
sejarah perkembangan yang cukup panjang. Keyakinan orang Bali Aga juga
dipengaruhi oleh Mpu yang datang ke Bali. Tetapi setelah masuknya Hindu
Majapahit ke Bali, orang Bali Aga mempertahankan keyakinannya. Keyakinan
ini berkembang di daerah pegunungan sehingga menimbulkan perbedaan antara Hindu
Bali Aga yang sulit terpengaruh agama Hindu majapahit dan masyakat Bali
pesisir yang banyak menyerap ajaran agama hindu dari majapahit. Perbedaan
itulah yang menjadikan Bali mempunyai karakter tersendiri.
Jadi hendaknya masyarakat bali
sekarang kembali untuk sadar sebagai orang Bali dengan melihat sejarah agar
karakter orang Bali yang ramah dan sesuai dengan filosofi ke-hindubali-annya
menjadi ajeg dan tidak terkikis oleh jaman. Bali bisa berubah jika
masyarakat Bali kehilangan jati diri dan tradisi. Untuk itu, kini
dipentingkan adanya “pemberontakan” kembali dari Bali Aga untuk
mengembalikan Bali yang hilang.
FAKTOR APA SAJA YANG BIASANYA MEMBEDAKAN ADAT/TRADISI DISETIAP WILAYAH/DESA DIBALI ?
BalasHapus