Sabtu, 04 Januari 2014

KEKERASAN DALAM PANDANGAN AGAMA HINDU (Makalah)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin violentia, yang berarti keganasan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, dan perkosaan (sebagaimana dikutip Arif Rohman : 2005). Tindak kekerasan, menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya, pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Walaupun tindakan tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal maupun nonverbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban.
            Kekerasan ada dalam setiap masyarakat. Kekerasan bisa fisik, bisa simbolis. Ia bisa diterima atau diderita. Kekerasan muncul dalam rekontruksi, reproduksi ataupun transformasi hubungan social. Sejak Negara muncul, Negara membangun dirinya d atas kekerasan, dan Max Weber menyatakan bahwa, tindakan kekerasan yang abssah merupakan salah satu karakteristik Negara. Ada juga pemikir mengatakan bahwa, sebab kekerasan harus dicari dalam jiwa manusia. Di Indonesia akhir-akhir ini konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana. Mulai dari kasus bom bali, bom kuningan, penyerbuan kampus, ahmadiyah di parung sampai penutupan rumah ibadah kristiani di bandung jawa barat, dan orang-orang Lampung yang beragama Islam membakar tempat suci yang dimiliki oleh masyarakat Hindu di sana.
            Di luar negeri, kekerasan atas nama agama mengambil bentuk-bentuk dalam berbagai kejadian seperti orang-orang yahudi yang membunuh kaum muslimin yang tengan shalat di mesjid, orang-orang hindu di india yang membakar mesjid,  orang-orang islam dimesir yang meneror dan membunuh para turis di Bangladesh.
            Fenomena di atas melahirkan wacana agama yang paradoksal dan juga bencana, karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan. Meskipun terdapat banyak pernyataan pembelaan diri khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tetapi manusia saja yang kemudian yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud kekerasan secara umum?
2.      Bagaimana pandangan agama Hindu terhadap kekerasan ?
3.      Bagaimana cara mengatasi kekerasan dalam agama?

1.3  TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui pengertian kekerasan secara umum.
2.      Mengetahui pandangan agama Hindu terhadap kekerasan.
3.      Mengetahui cara mengatasi kekerasan menurut ajaran agama Hindu.
1.4  MANFAAT
1.      Bagi mahasiswa makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu untuk mengendalikan jiwa yang masih labil.
2.      Bagi masyarakat umum makalah ini dapat memberikan tambahan wawasan tentang pandangan agama Hindu terhadap kekerasan.
3.      Bagi orang tua makalah ini dapat memberikan pedoman didalam mendidik anak.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KEKERASAN SECARA UMUM
                        Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut psikiater internasional, Terry E. Lawson, ada empat jenis atau bentuk kekerasan yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional Abuse (kekerasan emosional), terjadi ketika orang tua atau pengasuh mengabaikan anak setelah mengetahui ia meminta perhatian. Anak dibiarkan lapar karena orang tua terlalu sibuk dan tak mau diganggu. Kebutuhan anak untuk dipeluk dan dilindungi terabaikan. Orang tua yang secara emosional berlaku seperti ini telah berlaku keji pada anak dan anak akan mengingat semua kekersan emosional itu sepanjang hidupnya.
Verbal Abuse (kekerasan verbal), terjadi ketika orang tua atau pengasuh menyuruh anak diam atau tidak menangis setelah mengetahui ia meminta sesuatu dan meminta perhatian. Jika anak mulai bicara, orang tua terus-menerus melakukan kekerasan verbal dan berkata kasar, seperti:”kamu bodoh!”, “dasar cengeng, diaaamm!”. Keadaan demikian akan terekam dalam pikiran bawah sadar anak.
Physical Abuse (kekerasan fisik), terjadi ketika orang tua atau pengasuh memukul/menjewer/mencubit anak saat ia tidak bisa dikondisikan sesuai keinginan orang tua atau saat anak ingin sesuatu. Kondisi seperti inipun akan membuat anak selalu mengingat kekerasan fisik itu.
Sexual Abuse (kekerasan seksual), biasanya tidak terjadi selama 18 bulan pertama kehidupan. Eksploitasi seksual pada anak adalah ketergantungan. Kekerasan seksual lebih kepada pelecehan seksual pada anak.

2.2  PANDANGAN AGAMA HINDU TENTANG KEKERASAN
Munculnya bentuk-bentuk kekerasan berkedok agama telah mencengangkan penghuni planet bumi akhir-akhir ini. Tindakan para teroris dengan melakukan pengeboman telah mencederai nilai kemanusiaan. Perilaku mereka telah mengusik kenyamanan dan keamanan umat manusia. Padahal, tak satu pun agama mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan, apalagi sampai membunuh orang. Orang-orang yang melakukan tindak kejahatan jelas mengalami kesulitan mendapatkan ''tiket'' menuju alam mukti (alam menuju moksah). Lalu, bagaimana pandangan Hindu tentang hal itu? Hal-hal apa saja yang mesti dikedepankan dalam konteks hidup berdampingan satu sama lainnya? 
Dalam tradisi di Bali ada istilah puputan atau perang habis-habisan. Ketika bicara atas agama dan kepentingan daerah, perang puputan itu harus diartikan secara kontekstual. Artinya, semua pihak harus perang terhadap kebodohan, kemiskinan dan perang terhadap ego atau sifat keakuan. Sebab, munculnya berbagai problem sosial seperti kekerasan, bunuh diri, karena kita telah membiarkan sifat-sifat keakuan (ego) terlalu mengalahkan sifat-sifat altruisme (lawan dari egoisme). Ketika melihat orang melakukan kekerasan yang merugikan orang banyak yang tak berdosa, mestinya kita tidak melakukan tindakan yang sama. Melainkan mendoakan agar yang bersangkutan disadarkan karena menyalahi kaidah-kaidah kemanusiaan yang universal.
Hanya dengan berpikir seperti itu kita telah menciptakan suasana santhi (damai), sebagai amanat ajaran agama Hindu. Dalam Hindu orang yang melakukan kekerasan dan menyakitkan orang lain sangat bertentangan dengan dharma. Jangankan membunuh, menyakiti orang lain dengan kata-kata saja sudah bertentangan dengan dharma. Sebab, menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri. Perilaku santhi seperti itu mesti dicontohkan oleh mereka yang saat ini menjadi figur publik. Sebab, panutan atau teladan sangat diperlukan dalam konteks bermasyarakat. 

Dharma mutlak dijaga, diikuti dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma atau kebenaran wajib dilindungi dan dipatuhi. Jika umat melakukan hal itu, sebaliknya dharmalah yang akan melindungi umat. ''Siapa yang bakti terhadap dharma, ia akan justru mendapat anugerah dari dharma,''
Panca Pandawa berkenan melakukan perang dengan Korawa karena menegakkan dharma. Karena menegakkan dharma, akhirnya Pandawa dilindungi oleh dharma. Mereka diberkati kemenangan. Dharma itu mesti ditegakkan, umat akan menghindari tindak kekerasan. Tidak menjadikan agama sebagai kedok melakukan kekerasan, seperti perilaku para teroris yang mengacau keamanan dan kenyamanan masyarakat. Dharma mesti ditegakkan, sehingga umat mampu menjadi insan yang sujana.
“Siapa yang membela dharma (satyeng dharma) ia akan mendapat pahala sekala dan niskala,”. Artinya, dalam kehidupan di dunia nyata (sekala), kita akan mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan, kedamaian dan sebagainya. Itulah sorga yang sekala (nyata). Selain itu mereka akan mendapatkan hal yang sama di alam niskala berupa hita niskala atau kesejahteraan atau ketenteraman di alam sorga. Jika orang melakukan kejahatan, membunuh orang tanpa dosa, dan menteror orang, mereka akan menemukan ahita sekala dan ahita niskala. Meraka akan selalu dikejar-kejar perasaan takut, tidak berani memperlihatkan diri secara terang-terangan, waswas, tidak nyaman dan sebagainya. Di alam yang lain, mereka tidak mendapat kunci atau tiket menuju mukti yakni jalan menuju kelepasan atau moksa. Karena para teroris itu asatyeng dharma, maka manusia yang lain dianggap musuh. Mereka justru mendapat neraka sekala dan neraka niskala.
Hindu cinta damai (bahu santhih), sehingga tidak melakukan reaksi balik (kekerasan) terhadap peristiwa kekerasan. Masyarakat justru melakukan doa, melaksanakan ritual pecaruan, mengembangkan sikap awas (waspada) dan menyerahkan kasus itu kepada pihak yang berwajib. Hal itu dibuktikan ketika terjadi bom Bali I dan bom Bali II. Reaksi spirit seperti itu perlu dilakukan dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan. Jika kekerasan dibalas dengan kekerasan, tentu akan terjadi kekerasan lagi. Itupun sangat bertentangan dengan ajaran ahimsa. Hindu sendiri sangat optimis bahwa orang-orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dharma, cepat atau lambat akan mendapat pahala yang setimpal. Terbukti, orang yang melakukan pengeboman di Bali segera ditangkap, demikian juga otak pengeboman sudah ada yang berhasil dibinasakan.
Diungkapkan, dalam menyikapi tragedi kemanusiaan, umat Hindu di Bali sudah secara real mengejawantahkan ajaran-ajaran Gandhi yakni perlawanan tanpa kekerasan. Umat Hindu justru melakukan ''perlawanan'' aktif melalui doa -- mendekatkan diri dengan Tuhan. Semua agama tidak membenarkan orang melakukan pembunuhan. Hanya orang-orang sesatlah yang melakukan kekerasan atas nama agama.
Gejala kekerasan, kebiadaban, kekejaman dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan, sejatinya telah muncul setua sejarah manusia. Perlawanan tanpa kekerasan atau dalam bahasa Mahatma Gandhi disebut sebagai paham pantang kekerasan merupakan kekuatan paling ampuh bagi umat manusia. Paham ini jauh paling hebat daripada senjata penghancur terhebat yang pernah diciptakan oleh akal manusia. Paham inilah yang dikenal dengan ahimsa.
Bagi Gandhi, ahimsa tidak sekadar tidak menyakiti, tetapi lebih dari itu. Tidak menyakiti insan mana pun, baik pikiran, ucapan maupun tindakan. Dalam konteks menyikapi perilaku kekerasan sejatinya umat Hindu di Bali sudah secara real mengejawantahkan ajaran-ajaran Gandhi yakni perlawanan tanpa kekerasan. Dalam kasus bom Bali, umat Hindu di Bali justru melakukan ''perlawanan'' aktif melalui doa yakni lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Secara filosofis konsepsi Gandhi tentang masyarakat didasarkan atas konsep bahwa manusia tidak dapat menjadi otonom ketika tidak membangun relasi dengan manusia yang lain. Individualistis menjadi tidak berarti ketika manusia hanya hadir dalam kesendiriannya tanpa manusia yang lain. Bangunan dasar masyarakat yang diidealisasikan oleh Gandhi adalah masyarakat yang tanpa kekerasan. Masyarakat tanpa kekerasan yang hendak diwujudkan Gandhi berintikan ajaran ahimsa sebagai falsafah pantang kekerasan dan satyagraha sebagai bentuk perjuangan tanpa kekerasan yang mendahulukan kebenaran sebagai prinsip utama kehidupan. Bagi Gandhi, kebenaran adalah Tuhan itu sendiri. Dalam konteks hubungan antarmanusia bermuara pada satu keyakinan bahwa semua manusia adalah bersaudara.

2.3 MENGANTISIPASI KEKERASAN DENGAN AJARAN AGAMA
        HINDU
            Agama Hindu memiliki beberapa pandangan tentang kekerasan, yang dijadikan panutan bagi umat Hindu untuk mengantisipasi kekerasan. Panutan-panutan ini dijabarkan didalam ajaran-ajaran suci Agama Hindu. Diantaranya sebagai berikut:
1)      Tri Kaya Parisudha
Dalam ajaran Hindu sendiri kekerasan sama seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa tindakan kekerasan tidak diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan yang pasti. Konsepsi kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut dengan “Haimsah” tidak hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang saja tidak diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan ajaran Trikaya Parisudha yakni : perbuatan yang benar (kayika parisudha), pikiran yang benar (manacika parisudha), dan ucapan yang benar (wacika parisudha). Tiga ajaran inilah yang mencakup kesempurnaan manusia apabila ajaran ini dijalankan, maka kekerasan tidak bahwa tingkah laku seseorang dapat dilihat dari ucapannya. Guna menigntropeksi diri, agama Hindu mengajarkan umatnya untuk bertapa diri guna mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan.
Kekerasan boleh dilakukan apabila ada perintah secara langsung dari Tuhan, sebagaimana dikisahkan dalam cerita Mahabarata Yuda, yang mengharuskan Arjuna sebagai seorang ksatria yang diharuskan untuk membunuh keluarga dan saudara-saudaranya guna menegakan kebenaran. Hal ini bukan berarti Arjuna membunuh tanpa ada artinya, akan tetapi karma yang mengharuskan mereka untuk saling bermusuhan bahkan sampai saling membunuh antara Kurawa dengan Panca Pandawa. Dalam cerita ini Arjuna diperintahkan oleh Khrisna (Tuhan itu sendiri yang ber-reinkarnasi dalam bentuk manusia) untuk menumpas kejahatan dan demi tegaknya dharma.
Di dalam kitab agama Hindu dijelaskan bahwa selagi dunia ini dikuasai oleh adharma (perbuatan jahat) yang terus merajalela di dunia ini, “aku akan turun ke dunia dan menjelma sebagai manusia untuk melebur semua perilaku angkara murka, karena perilaku angkara murka tidak akan musnah selagi jasad manusia itu hidup”. Dalam kisah Mahabarata Yuda diatas sangat jelas, kekerasan boleh dilakukan asalkan dengan perintah Tuhan dan semata-mata untuk menegakan dharma. Selain itu ajaran agama Hindu tidak memperbolehkan menggunakan kekerasan dalam hal mendidik anak, ia mengatakan membentak atau menghardik anak dalam agama Hindu tidak diperkenankan apalagi sampai dengan memukulnya.
2)      Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang artinya tiga, “Hita” yang artinya kebahagian, dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana tiga penyebab terciptanya kebahagian.
      Falsafah Tri Hita Karana memiliki konsep yang dapat keunikan ragam budaya dan lingkungan, ditengah hantaman globalisasi dan homogenosasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan  kehidupan dengan manusia di Dunia ini.
      Dengan menerapkan falsafah itu tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modrn yang lebih mengedepankan Individualisme dan materialism yang cenderung menimbulkan kekerasan.  Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat mengapus pandangan yang mendorong komsumsiresme, pertikain, dan gejolak marah. Ajaran tersebut meliputi :
Manusia dengan Tuhan (Parhyangan)
Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan atman ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan, yang menyababkan manusia bisa hidup. Manusia berhutang nyawa pada Tuhan, oleh karena itu setiap manusia wajib berterimakasih, berbakti, dan selalu sujud. Itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesarannya. Dengan menjalankan ajaran Parhyangan ini maka manusia akan dapat lebih menekatkan diri dengan Tuhan sehingga sifat-sfat sad ripu yang dapat menimbulkan kekerasan akan dapat dicegah.
Manusia dengan lingkungan (Palemahan)
Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu, manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungan, dengan demikian manusia sangat tergantung pada lingkungan. Oleh karena itu manusia sudah berkewajiban untuk menjaga keharmonisan di dalam lingkungan, baik itu dengan alam ataupun dengan isinya (makhluk hidup).
Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Sebagai makhluk sosial,manusia tidak bisa hidup menyendiri.  Merka memerlukan bantuan dari kerjasama oaring lain, karena itu hubungan dengan sesama harus baik dan harmonis. Hubungan antara sesama harus berlandaskan saling asah, asuh, asih. Yang artinya saling menghargai, mengasihi, dan melindungi. hubungan antara keluarga dirumah harus harmonis, dengan masyarakat juga harus harmonis. Hubungan baik ini mnenciptakan keamanan dan kedamaian lahiar batin dan masyarakat yang aman akan menciptakan tujuan yang tentram dan sejahtera.
3)      Tat Twam Asi
Ajaran tatwam berbunyi, “aku adalah kamu, kamu adalah aku.”
Jika aku adalah kamu, maka aku selayaknya menyayangimu, sesayang aku pada tubuh dan jiwaku. Sesakit aku menyakiti diriku, seperti itulah jika aku menyakitimu. Aku tak ingin hatimu retak seperti cawan keramik terkena goyangan gempa. Jika aku mencelamu, maka aku mencela diriku sendiri. Mencemoohmu, sama dengan mencemoohku.
 (Ajaran Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau adalah aku.” Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.)
4)      Ahimsa dan Himsa
Perkataan Ahimsa berasal dari dua kata yaitu : “a” artinya tidak, “himsa” artinya menyakiti, melukai, atau membunuh. Jadi, Ahimsa artinya tidak menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan, dan tingkah laku secara sewenang – wenang. Agama Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan amat utama. Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya kebajikan ( Dharma ) yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu adalah tidak membunuh. Namun, uraian itu jangan ditafsirkan secara ekstrim ( kaku ) karena bisa bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut ( agama Hindu ). Dengan demikian kita boleh membunuh untuk mempertahankan hidup asal tidak didorong dengan Nafsu atau Sad Ripu yaitu : Kama ( keinginan ), Lobha ( rakus, lobha ), Krodha ( marah ), Mada ( angkuh, mabuk ), Moha ( kebingungan ), Matsarya ( iri hati ). Jadi, meskipun ajaran Ahimsa itu berarti tidak membunuh tetapi dalam batas – batas tertentu kita diperbolehkan membunuh.  Contoh : di dalam Kitab Slokantara disebutkan ada empat macam pembufnuhan yang diperbolehkan, yaitu :
1.      Dewa Puja     : Persembahan kepada DEwa ( Dewa Yadnya )
2.      Pitra Puja       : Persembahan kepada Roh leluhur ( Pitra Yadnya )
3.      Athiti Puja     : Persembahan kepada tamu yang kita hormati
4.      Dharma Wighata : kewajiban bagi semua orang membunuh mahluk yang mengganggu atau memberi penderitaan terhadap umat manusia.
Sedangkan mahluk yang kita persembahkan kepada Dewa Puja, Pitra Puja, Athiti Puja, dan Dharma Wighata pun kalau untuk upacara berarti kita menolong untuk meningkatkan jiwanya, sebab sebelum menyembelih binatang biasanya terlebih dahulu diberi mantram yang berbunyi  sebagai berikut :
“ Om Papasayah wiwaha ceras shadayat dimahitano jiwah pracodayat “ artinya : “Ya Tuhan saya hendak memotong hewan atau binatang ini dengan memotong kepalanya, semoga jiwanya dapat meningkat. “
Dengan demikian sebenarnya ajaran Ahimsa itu tidak lain harus memperhatikan dan mengendalikan tingkah lakunya agar pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak menyakiti orang lain atau mahluk lain. Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain maka disebut perbuatan Himsa. Oleh karena itu hindari perbuatan Himsa terhadap semua mahluk. Kita harus saling asah, asih, dan asuh terhadap sesamanya. Karena jiwatman kita sama dengan jiwatman mahluk lain yang berasal dari satu sumber yaitu Paramaatman ( Sang Hyang Widhi ).







BAB III
PENUTUP

3.1   KESIMPULAN
      Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama Hindu sangat menentang kekerasan, namun ada beberapa kekerasan yang diperbolehkan dalam agama Hindu, seperti membunuh nyamuk, bakteri, virus dan lainnya yang dianggap merugikan umat. Untuk menanggulangi kekerasan, agama Hindu memberikan ajaran-ajaran seperti ajaran Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, Tat Twam Asi, dan Ahimsa Himsa Karma.  

3.2 SARAN
     























DAFTAR PUSTAKA

Beuken wim, Agama sebagai sumber kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Jalaluddin, psikologi agama. Jakarta : Grafindo. 2008
Audi Robert, Agama dan Nalar Sekuler. Yogyakarta: UII press. 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar