Desa adat di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam
menata dan mebina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses
pembangunan Bali dalam bidang agama, ideologi negara, sosial budaya, ekonomi
dan pertahanan keamanan. Desa adat sebagai sistem sosial pada awalnya dibentuk
sebagai wilayah yang mandiri yang berasal dari tradisi weda di India yang
ketika itu sistem sosial terendah yang otonom disebut gramani. Di bali dikembangkan menjadi kramani yang selanjutnya menjadi pekraman.
Masalahnya, apakah desa adat sudah
menjadi alat yang baik?. Sudahkah desa adat berdaya menghadapi kekuasaan yang
kurang baik?. Dengan gagasan
implementasi persepsi Hindu yang menjiwai kehidupan desa adat di Bali dengan
pelestarian lingkungan hidup secara konseptual. Ini dilihat dari filsafat Tri Hita Karana yaitu parhyangan, palemahan dan pawongan. Sedangkan
peranan desa adat dalam pelestarian fungsi lingkungan dengan adanya UU No. 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Peranan desa adat dalam
pelestarian fungsi lingkungan adalah sangat penting karena melalui desa adat
akan dikalaborasikan oleh perilaku krama desanya dalam memanfaatan lingkungan
hidup.
Banyak kegiatan yang
merupakan program pemerintah selalu mendompleng pada kehidupan desa adat untuk mencapai tingkat
keberhasilan yang optimal. Seperti pelaksanaan program Keluarga Berencana
dengan sistem banjar dalam
menanggulangi jumlah penduduk yang keberhasilannya sudah diakui masyarakat
dunia. Demikian pula kegiatan Posyandu di tiap-tiap banjar yang menampakkan keefektifannya. Semua ini adalah tidak
terlepas dari peranan hukum adat (Bali) sebagai daya rekat dalam kehidupan
masyarakat hukum adatnya yang sudah demikian menyatu dalam keseimbangan sesuai
dengan ajaran Trihitakarana, sehingga
tidaklah berlebihan apabila I Gusti
Ketut Sutha menyatakan, bahwa pembangunan yang mengabaikan dan bahkan acuh
tak acuh terhadap hukum adat serta adat yang mengatur perhubungan diantara
unsur-unsur dari ajaran keseimbangan tersebut akan mengalami kesulitan dan bahkan
mengalami kegagalan total. Oleh karena itu, pembangunan di Bali selalu akan
melibatkan desa adat dalam proses
sosialnya maupun dalam implementasinya, karena yang punya pendukung sebagai
warga (krama) adalah desa adat dengan banjar-banjarnya.
Pengembangan konsepsi
Tri Hita Karana sebagai dasar dalam pembangunan Bali berlanjut, dilandasi oleh
tiga dasar pemikiran, yaitu, (1) normatif-filsafati, (2) empiris, (3)
pragmatik. Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai suatu produk ilmiah,
keberadaannya sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat lima alasan prinsip
seperti berikut:
1. Pertama,
substansi Tri Hita Karana yang menjiwai tata ruang Bali sering dilencengkan
untuk tujuan ekonomis tertentu, sehingga semrawutnya pembangunan di Bali,
selain disebabkan oleh tidak jelasnya tata ruang, lemahnya sistem kontrol dari
pemerintah dan masyarakat, juga karena kurangnya perhatian dari pelaku
pembangunan.
2. Kedua,
pembangunan di Bali menghadapi tantangan yang sangat berat. Laju pembangunan
tanpa didukung oleh konsepsi dan pemahaman makna tentang harmonisasi antara
manusia, lingkungan dan Tuhan, akan berakibat pada semakin tidak teraturnya
pembangunan itu sendiri. Ruang (atau penataran) adalah suatu wadah yang sangat
penting, karena disinilah harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan terjalin.
3.
3. Ketiga,
konsep Tri Hita Karana sebagai landasan fiosofis dalam pembangunan Bali yang
berlandaskan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu telah banyak dijabarkan, namun
implementasinya dalam dinamika pembangunan Bali dan upaya untuk mewujudkan
pembangunan Bali yang berkelanjutan, berwawasan budaya dan lingkungan, belum
optimal.
4. Keempat,
konsep Tri Hita Karana, karenanya perlu dirumuskan kembali seiring dengan
situasi dan kondisi di Bali yang sudah jauh berbeda, sehingga bisa merangkul
beberapa komponen dan aspek yang nyata dan terlibat langsung dalam proses
pembangunan, yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.
5. Kelima,
selain itu, pemahaman makna dari konsep Tri Hita Karana harus dapat mengikuti
perkembangan jaman dan siap berubah ke arah yang wajar, karena bergesernya
nilai - nilai dan pola tatanan yang ada dalam pembangunan di Bali lebih banyak
disebabkan oleh kurangnya pemahaman makna para pelaku pembangunan, sehingga
visi dan misi dari konsep Tri Hita Karana perlu lebih dipertajam lagi dengan
jalan menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan dan
pengembangan Bali secara berkesinambungan.
Oleh
karena itu, pengembangan konsepsi Tri Hita Karana, yang merupakan suatu lokal
genius budaya Bali, merupakan suatu perwujudan dari kerangka pemikiran dalam
rangka menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan di Bali.
Agar mampu menjadi suatu standar
dalam pembangunan yang berkelanjutan, maka:
1. Konsep
Tri Hita Karana -sebagai konsep keseimbangan dalam budaya dan masyarakat Bali-
mampu menjadi acuan pembinaan, peningkatan pembangunan yang berkualitas, serta
menjadi standar dalam pengembangan dan pembangunan, sehingga selain mencirikan
nuansa Bali yang berwawasan lingkungan juga dapat menjadi acuan dalam
pembangunan di dunia internasional.
2. Konsep
Tri Hita Karana, sebagai suatu local genius Bali, mampu menggabungkan beberapa
macam ilmu pengetahuan yang berkaitan erat dengan standar baku pembangunan
dengan lebih mengedepankan konsep tradisional Bali, serta kreatif dan inovatif
untuk memecahkan masalah - masalah yang ada maupun yang akan datang.
3. Konsep
Tri Hita Karana mampu menjawab berbagai persoalan yang terbaru dan mampu
mengantisipasi dampak teknologi dan perkembangan iptek terhadap budaya dan
lingkungan.
Ada
beberapa pemikiran yang melandasinya, yakni:
1. Sekalipun
pembangunan dan pengembangan propinsi Bali lebih menitik beratkan pada nilai -
nilai luhur tradisional, namun diupayakan agar tidak bersifat sektarian dan
primordial, tetapi cenderung pada budaya multikultural dan pluralistik, hingga
sanggup menampung budaya Bali yang terus menerus berproses dan berkembang.
2. Penataan
kota - kota dan pola pembangunan dengan metoda yang sektarian cenderung akan
menjadikan kota - kota dan pola pembangunan tersebut semuanya harus berdasar
pada arsitektur Bali. Budaya multikultural dan pluralistik yang dimaksudkan
adalah budaya dimana ada proses sinkretisme, inkulturasi serta asimilasi
kultural dalam perkembangannya, sehingga akan dihasilkan budaya kekinian yang
dapat diterima dan dirasakan oleh semua pihak, yang dapat terus mengantisipasi
perkembangan itu sendiri.
3. Penataan
dan pengembangan seluruh sub-sistem yang meliputi semua sarana dan prasarana
untuk mendukung pemakaian konsep Tri Hita Karana secara professional, serta
terus - menerus menggali dan melaksanakan penelitian tentang konsep tersebut
secara optimal.
4. Kontribusi
ilmu pengetahuan, hasil penelitian dan konsep - konsep terbaru yang memiliki
relevansi yang kuat demi terwujudnya upaya untuk menjadikan konsep Tri Hita
Karana sebagai suatu standar pembangunan di Bali.
5. Pemberdayaan
sumber daya yang ada secara efektif dan penerapan sistem perbaikan kualitas
secara kontinyu di segala sektor dengan menggunakan langkah - langkah
terprogram, untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan
di Bali.
6. Upaya
untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dalam penelitian dan pengembangan
konsep Tri Hita Karana, sehingga dapat disosialisasikan kepada masyarakat.
7. Memberikan
informasi tentang orientasi pengembangan teknologi dan iptek di Bali dalam
pembangunan jangka panjang, penelitian tentang pembangunan dan pengembangan
Bali, baku mutu standar dalam upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana
sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman sosial, budaya dan
perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengembangan konsep Tri Hita
Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman informasi dan
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemakaian dan upaya mengembangkan
konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar