Sabtu, 04 Januari 2014

Kontribusi Hindu dalam Mewujudkan Konsep Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan



Desa adat di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan mebina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses pembangunan Bali dalam bidang agama, ideologi negara, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan. Desa adat sebagai sistem sosial pada awalnya dibentuk sebagai wilayah yang mandiri yang berasal dari tradisi weda di India yang ketika itu sistem sosial terendah yang otonom disebut gramani. Di bali dikembangkan menjadi kramani yang selanjutnya menjadi pekraman.
            Masalahnya, apakah desa adat sudah menjadi alat yang baik?. Sudahkah desa adat berdaya menghadapi kekuasaan yang kurang baik?. Dengan gagasan implementasi persepsi Hindu yang menjiwai kehidupan desa adat di Bali dengan pelestarian lingkungan hidup secara konseptual. Ini dilihat dari filsafat Tri Hita Karana yaitu parhyangan, palemahan dan pawongan. Sedangkan peranan desa adat dalam pelestarian fungsi lingkungan dengan adanya UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Peranan desa adat dalam pelestarian fungsi lingkungan adalah sangat penting karena melalui desa adat akan dikalaborasikan oleh perilaku krama desanya dalam memanfaatan lingkungan hidup.
Banyak kegiatan yang merupakan program pemerintah selalu mendompleng pada kehidupan desa adat untuk mencapai tingkat keberhasilan yang optimal. Seperti pelaksanaan program Keluarga Berencana dengan sistem banjar dalam menanggulangi jumlah penduduk yang keberhasilannya sudah diakui masyarakat dunia. Demikian pula kegiatan Posyandu di tiap-tiap banjar yang menampakkan keefektifannya. Semua ini adalah tidak terlepas dari peranan hukum adat (Bali) sebagai daya rekat dalam kehidupan masyarakat hukum adatnya yang sudah demikian menyatu dalam keseimbangan sesuai dengan ajaran Trihitakarana, sehingga tidaklah berlebihan apabila I Gusti Ketut Sutha menyatakan, bahwa pembangunan yang mengabaikan dan bahkan acuh tak acuh terhadap hukum adat serta adat yang mengatur perhubungan diantara unsur-unsur dari ajaran keseimbangan tersebut akan mengalami kesulitan dan bahkan mengalami kegagalan total. Oleh karena itu, pembangunan di Bali selalu akan melibatkan desa adat dalam proses sosialnya maupun dalam implementasinya, karena yang punya pendukung sebagai warga (krama) adalah desa adat dengan banjar-banjarnya.
Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai dasar dalam pembangunan Bali berlanjut, dilandasi oleh tiga dasar pemikiran, yaitu, (1) normatif-filsafati, (2) empiris, (3) pragmatik. Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai suatu produk ilmiah, keberadaannya sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat lima alasan prinsip seperti berikut:
1.      Pertama, substansi Tri Hita Karana yang menjiwai tata ruang Bali sering dilencengkan untuk tujuan ekonomis tertentu, sehingga semrawutnya pembangunan di Bali, selain disebabkan oleh tidak jelasnya tata ruang, lemahnya sistem kontrol dari pemerintah dan masyarakat, juga karena kurangnya perhatian dari pelaku pembangunan.
2.      Kedua, pembangunan di Bali menghadapi tantangan yang sangat berat. Laju pembangunan tanpa didukung oleh konsepsi dan pemahaman makna tentang harmonisasi antara manusia, lingkungan dan Tuhan, akan berakibat pada semakin tidak teraturnya pembangunan itu sendiri. Ruang (atau penataran) adalah suatu wadah yang sangat penting, karena disinilah harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan terjalin. 3.
3.      Ketiga, konsep Tri Hita Karana sebagai landasan fiosofis dalam pembangunan Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu telah banyak dijabarkan, namun implementasinya dalam dinamika pembangunan Bali dan upaya untuk mewujudkan pembangunan Bali yang berkelanjutan, berwawasan budaya dan lingkungan, belum optimal.
4.      Keempat, konsep Tri Hita Karana, karenanya perlu dirumuskan kembali seiring dengan situasi dan kondisi di Bali yang sudah jauh berbeda, sehingga bisa merangkul beberapa komponen dan aspek yang nyata dan terlibat langsung dalam proses pembangunan, yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.
5.      Kelima, selain itu, pemahaman makna dari konsep Tri Hita Karana harus dapat mengikuti perkembangan jaman dan siap berubah ke arah yang wajar, karena bergesernya nilai - nilai dan pola tatanan yang ada dalam pembangunan di Bali lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman makna para pelaku pembangunan, sehingga visi dan misi dari konsep Tri Hita Karana perlu lebih dipertajam lagi dengan jalan menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan dan pengembangan Bali secara berkesinambungan.
Oleh karena itu, pengembangan konsepsi Tri Hita Karana, yang merupakan suatu lokal genius budaya Bali, merupakan suatu perwujudan dari kerangka pemikiran dalam rangka menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan di Bali.
Agar mampu menjadi suatu standar dalam pembangunan yang berkelanjutan, maka:
1.      Konsep Tri Hita Karana -sebagai konsep keseimbangan dalam budaya dan masyarakat Bali- mampu menjadi acuan pembinaan, peningkatan pembangunan yang berkualitas, serta menjadi standar dalam pengembangan dan pembangunan, sehingga selain mencirikan nuansa Bali yang berwawasan lingkungan juga dapat menjadi acuan dalam pembangunan di dunia internasional.
2.      Konsep Tri Hita Karana, sebagai suatu local genius Bali, mampu menggabungkan beberapa macam ilmu pengetahuan yang berkaitan erat dengan standar baku pembangunan dengan lebih mengedepankan konsep tradisional Bali, serta kreatif dan inovatif untuk memecahkan masalah - masalah yang ada maupun yang akan datang.
3.      Konsep Tri Hita Karana mampu menjawab berbagai persoalan yang terbaru dan mampu mengantisipasi dampak teknologi dan perkembangan iptek terhadap budaya dan lingkungan.

Ada beberapa pemikiran yang melandasinya, yakni:
1.      Sekalipun pembangunan dan pengembangan propinsi Bali lebih menitik beratkan pada nilai - nilai luhur tradisional, namun diupayakan agar tidak bersifat sektarian dan primordial, tetapi cenderung pada budaya multikultural dan pluralistik, hingga sanggup menampung budaya Bali yang terus menerus berproses dan berkembang.
2.      Penataan kota - kota dan pola pembangunan dengan metoda yang sektarian cenderung akan menjadikan kota - kota dan pola pembangunan tersebut semuanya harus berdasar pada arsitektur Bali. Budaya multikultural dan pluralistik yang dimaksudkan adalah budaya dimana ada proses sinkretisme, inkulturasi serta asimilasi kultural dalam perkembangannya, sehingga akan dihasilkan budaya kekinian yang dapat diterima dan dirasakan oleh semua pihak, yang dapat terus mengantisipasi perkembangan itu sendiri.
3.      Penataan dan pengembangan seluruh sub-sistem yang meliputi semua sarana dan prasarana untuk mendukung pemakaian konsep Tri Hita Karana secara professional, serta terus - menerus menggali dan melaksanakan penelitian tentang konsep tersebut secara optimal.
4.      Kontribusi ilmu pengetahuan, hasil penelitian dan konsep - konsep terbaru yang memiliki relevansi yang kuat demi terwujudnya upaya untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar pembangunan di Bali.
5.      Pemberdayaan sumber daya yang ada secara efektif dan penerapan sistem perbaikan kualitas secara kontinyu di segala sektor dengan menggunakan langkah - langkah terprogram, untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan di Bali.
6.      Upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dalam penelitian dan pengembangan konsep Tri Hita Karana, sehingga dapat disosialisasikan kepada masyarakat.
7.      Memberikan informasi tentang orientasi pengembangan teknologi dan iptek di Bali dalam pembangunan jangka panjang, penelitian tentang pembangunan dan pengembangan Bali, baku mutu standar dalam upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman sosial, budaya dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengembangan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman informasi dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemakaian dan upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar