Bentrok massa
berulang kali terjadi di
Bali. Kejadian terakhir terjadi pada Selasa, 19 Juli di Bangli yang melibatkan
warga Songan, Kintamani dan warga Banjar Kawan, Bangli. Kejadian ini sampai
menewaskan satu orang dan beberapa lainnya luka-luka. Kondisi ini menambah
deretan panjang sejarah kekerasan di Bali yang dilakukan secara massal.
Pemicunya adalah hal-hal yang bisa dikatakan tidak terlalu signifikan seperti
perkelahian antarpemuda, tapal batas wilayah, kuburan, saling cureng, dan
hal-hal lainnya yang relatif kecil. Apakah penyebab atau pemicu yang demikian
kecil akan berakibat atau berdampak besar? Jawabannnya
Cuma satu yaitu turunnya rasa kemanusiaan pada diri setiap manusia.
Untuk
mengatasi masalah kekerasan ini umat Hindu memiliki beberapa ajaran suci yang
dijadikan benteng kehidupan, yaitu :
1)
Tri Kaya Parisudha
Dalam
ajaran Hindu sendiri kekerasan sama seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa
tindakan kekerasan tidak diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan
yang pasti. Konsepsi kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut
dengan “Haimsah” tidak hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang
saja tidak diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan ajaran Trikaya Parisudha yakni : perbuatan yang
benar (kayika parisudha), pikiran yang benar (manacika parisudha), dan ucapan
yang benar (wacika parisudha). Tiga ajaran inilah yang mencakup kesempurnaan
manusia apabila ajaran ini dijalankan, maka kekerasan tidak bahwa tingkah laku
seseorang dapat dilihat dari ucapannya. Guna menigntropeksi diri, agama Hindu
mengajarkan umatnya untuk bertapa diri guna mencegah perbuatan-perbuatan yang
dapat menimbulkan kekerasan.
Kekerasan
boleh dilakukan apabila ada perintah secara langsung dari Tuhan, sebagaimana
dikisahkan dalam cerita Mahabarata Yuda, yang mengharuskan Arjuna sebagai
seorang ksatria yang diharuskan untuk membunuh keluarga dan saudara-saudaranya
guna menegakan kebenaran. Hal ini bukan berarti Arjuna membunuh tanpa ada
artinya, akan tetapi karma yang mengharuskan mereka untuk saling bermusuhan
bahkan sampai saling membunuh antara Kurawa dengan Panca Pandawa. Dalam cerita
ini Arjuna diperintahkan oleh Khrisna (Tuhan itu sendiri yang ber-reinkarnasi
dalam bentuk manusia) untuk menumpas kejahatan dan demi tegaknya dharma.
Di
dalam kitab agama Hindu dijelaskan bahwa selagi dunia ini dikuasai oleh adharma
(perbuatan jahat) yang terus merajalela di dunia ini, “aku akan turun ke dunia
dan menjelma sebagai manusia untuk melebur semua perilaku angkara murka, karena
perilaku angkara murka tidak akan musnah selagi jasad manusia itu hidup”. Dalam
kisah Mahabarata Yuda diatas sangat jelas, kekerasan boleh dilakukan asalkan
dengan perintah Tuhan dan semata-mata untuk menegakan dharma. Selain itu ajaran
agama Hindu tidak memperbolehkan menggunakan kekerasan dalam hal mendidik anak,
ia mengatakan membentak atau menghardik anak dalam agama Hindu tidak
diperkenankan apalagi sampai dengan memukulnya.
2)
Tri
Hita Karana
Tri Hita
Karana berasal dari kata “Tri” yang artinya tiga, “Hita” yang artinya
kebahagian, dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana
tiga penyebab terciptanya kebahagian.
Falsafah Tri Hita Karana memiliki konsep
yang dapat keunikan ragam budaya dan lingkungan, ditengah hantaman globalisasi
dan homogenosasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga
hubungan kehidupan dengan manusia di
Dunia ini.
Dengan menerapkan falsafah itu tersebut,
diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modrn yang lebih mengedepankan
Individualisme dan materialism yang cenderung menimbulkan kekerasan. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat
mengapus pandangan yang mendorong komsumsiresme, pertikain, dan gejolak marah.
Ajaran tersebut meliputi :
Manusia
dengan Tuhan (Parhyangan)
Manusia
adalah ciptaan Tuhan, sedangkan atman ada dalam diri manusia merupakan percikan
sinar suci kebesaran Tuhan, yang menyababkan manusia bisa hidup. Manusia
berhutang nyawa pada Tuhan, oleh karena itu setiap manusia wajib
berterimakasih, berbakti, dan selalu sujud. Itu dapat dinyatakan dalam bentuk
puja dan puji terhadap kebesarannya. Dengan menjalankan ajaran Parhyangan ini
maka manusia akan dapat lebih menekatkan diri dengan Tuhan sehingga sifat-sfat
sad ripu yang dapat menimbulkan kekerasan akan dapat dicegah.
Manusia dengan lingkungan
(Palemahan)
Manusia
hidup dalam suatu lingkungan tertentu, manusia memperoleh bahan keperluan hidup
dari lingkungan, dengan demikian manusia sangat tergantung pada lingkungan.
Oleh karena itu manusia sudah berkewajiban untuk menjaga keharmonisan di dalam
lingkungan, baik itu dengan alam ataupun dengan isinya (makhluk hidup).
Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Sebagai
makhluk sosial,manusia tidak bisa hidup menyendiri. Merka memerlukan bantuan dari kerjasama
oaring lain, karena itu hubungan dengan sesama harus baik dan harmonis.
Hubungan antara sesama harus berlandaskan saling asah, asuh, asih. Yang artinya
saling menghargai, mengasihi, dan melindungi. hubungan antara keluarga dirumah
harus harmonis, dengan masyarakat juga harus harmonis. Hubungan baik ini
mnenciptakan keamanan dan kedamaian lahiar batin dan masyarakat yang aman akan
menciptakan tujuan yang tentram dan sejahtera.
3) Tat Twam Asi
Ajaran tatwam berbunyi, “aku
adalah kamu, kamu adalah aku.”
Jika aku
adalah kamu, maka aku selayaknya menyayangimu, sesayang aku pada tubuh dan
jiwaku. Sesakit aku menyakiti diriku, seperti itulah jika aku menyakitimu. Aku
tak ingin hatimu retak seperti cawan keramik terkena goyangan gempa. Jika aku
mencelamu, maka aku mencela diriku sendiri. Mencemoohmu, sama dengan
mencemoohku.
(Ajaran Tat Twam Asi berasal dari ajaran
agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau adalah aku.”
Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati,
merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita
menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang
lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang
lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah
hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.)
4)
Ahimsa dan Himsa
Perkataan
Ahimsa berasal dari dua kata yaitu : “a” artinya tidak, “himsa” artinya
menyakiti, melukai, atau membunuh. Jadi, Ahimsa artinya tidak menyakiti,
melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan, dan tingkah
laku secara sewenang – wenang. Agama Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk
tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran Ahimsa itu
merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan amat utama.
Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya
kebajikan ( Dharma ) yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa
ajaran yang tinggi itu adalah tidak membunuh. Namun, uraian itu jangan
ditafsirkan secara ekstrim ( kaku ) karena bisa bertentangan dengan ajaran
agama yang kita anut ( agama Hindu ). Dengan demikian kita boleh membunuh untuk
mempertahankan hidup asal tidak didorong dengan Nafsu atau Sad Ripu yaitu :
Kama ( keinginan ), Lobha ( rakus, lobha ), Krodha ( marah ), Mada ( angkuh,
mabuk ), Moha ( kebingungan ), Matsarya ( iri hati ). Jadi, meskipun ajaran
Ahimsa itu berarti tidak membunuh tetapi dalam batas – batas tertentu kita
diperbolehkan membunuh. Contoh : di
dalam Kitab Slokantara disebutkan ada empat macam pembufnuhan yang diperbolehkan,
yaitu :
1.
Dewa Puja : Persembahan kepada DEwa (
Dewa Yadnya )
2.
Pitra Puja : Persembahan kepada Roh
leluhur ( Pitra Yadnya )
3.
Athiti Puja : Persembahan kepada tamu
yang kita hormati
4.
Dharma
Wighata : kewajiban bagi semua orang membunuh mahluk yang mengganggu atau
memberi penderitaan terhadap umat manusia.
Sedangkan
mahluk yang kita persembahkan kepada Dewa Puja, Pitra Puja, Athiti Puja, dan
Dharma Wighata pun kalau untuk upacara berarti kita menolong untuk meningkatkan
jiwanya, sebab sebelum menyembelih binatang biasanya terlebih dahulu diberi
mantram yang berbunyi sebagai berikut “ Om Papasayah wiwaha ceras
shadayat dimahitano jiwah pracodayat “ artinya : “Ya Tuhan saya hendak memotong
hewan atau binatang ini dengan memotong kepalanya, semoga jiwanya dapat
meningkat. “ Dengan demikian sebenarnya ajaran Ahimsa itu tidak lain harus
memperhatikan dan mengendalikan tingkah lakunya agar pikiran, perkataan, dan
perbuatan tidak menyakiti orang lain atau mahluk lain. Setiap pikiran,
perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain maka disebut perbuatan
Himsa. Oleh karena itu hindari perbuatan Himsa terhadap semua mahluk. Kita
harus saling asah, asih, dan asuh terhadap sesamanya. Karena jiwatman kita sama
dengan jiwatman mahluk lain yang berasal dari satu sumber yaitu Paramaatman (
Sang Hyang Widhi ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar