Sabtu, 04 Januari 2014

Kontribusi Umat Hindu Dalam Mengatasi Kekerasan Yang Belakangan Sering Terjadi



Bentrok massa berulang kali terjadi di Bali. Kejadian terakhir terjadi pada Selasa, 19 Juli di Bangli yang melibatkan warga Songan, Kintamani dan warga Banjar Kawan, Bangli. Kejadian ini sampai menewaskan satu orang dan beberapa lainnya luka-luka. Kondisi ini menambah deretan panjang sejarah kekerasan di Bali yang dilakukan secara massal. Pemicunya adalah hal-hal yang bisa dikatakan tidak terlalu signifikan seperti perkelahian antarpemuda, tapal batas wilayah, kuburan, saling cureng, dan hal-hal lainnya yang relatif kecil. Apakah penyebab atau pemicu yang demikian kecil akan berakibat atau berdampak besar? Jawabannnya  Cuma satu yaitu turunnya rasa kemanusiaan pada diri setiap manusia. 
Untuk mengatasi masalah kekerasan ini umat Hindu memiliki beberapa ajaran suci yang dijadikan benteng kehidupan, yaitu :
1)      Tri Kaya Parisudha
Dalam ajaran Hindu sendiri kekerasan sama seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa tindakan kekerasan tidak diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan yang pasti. Konsepsi kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut dengan “Haimsah” tidak hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang saja tidak diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan ajaran Trikaya Parisudha yakni : perbuatan yang benar (kayika parisudha), pikiran yang benar (manacika parisudha), dan ucapan yang benar (wacika parisudha). Tiga ajaran inilah yang mencakup kesempurnaan manusia apabila ajaran ini dijalankan, maka kekerasan tidak bahwa tingkah laku seseorang dapat dilihat dari ucapannya. Guna menigntropeksi diri, agama Hindu mengajarkan umatnya untuk bertapa diri guna mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan.
Kekerasan boleh dilakukan apabila ada perintah secara langsung dari Tuhan, sebagaimana dikisahkan dalam cerita Mahabarata Yuda, yang mengharuskan Arjuna sebagai seorang ksatria yang diharuskan untuk membunuh keluarga dan saudara-saudaranya guna menegakan kebenaran. Hal ini bukan berarti Arjuna membunuh tanpa ada artinya, akan tetapi karma yang mengharuskan mereka untuk saling bermusuhan bahkan sampai saling membunuh antara Kurawa dengan Panca Pandawa. Dalam cerita ini Arjuna diperintahkan oleh Khrisna (Tuhan itu sendiri yang ber-reinkarnasi dalam bentuk manusia) untuk menumpas kejahatan dan demi tegaknya dharma.
Di dalam kitab agama Hindu dijelaskan bahwa selagi dunia ini dikuasai oleh adharma (perbuatan jahat) yang terus merajalela di dunia ini, “aku akan turun ke dunia dan menjelma sebagai manusia untuk melebur semua perilaku angkara murka, karena perilaku angkara murka tidak akan musnah selagi jasad manusia itu hidup”. Dalam kisah Mahabarata Yuda diatas sangat jelas, kekerasan boleh dilakukan asalkan dengan perintah Tuhan dan semata-mata untuk menegakan dharma. Selain itu ajaran agama Hindu tidak memperbolehkan menggunakan kekerasan dalam hal mendidik anak, ia mengatakan membentak atau menghardik anak dalam agama Hindu tidak diperkenankan apalagi sampai dengan memukulnya.
2)      Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang artinya tiga, “Hita” yang artinya kebahagian, dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana tiga penyebab terciptanya kebahagian.
        Falsafah Tri Hita Karana memiliki konsep yang dapat keunikan ragam budaya dan lingkungan, ditengah hantaman globalisasi dan homogenosasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan  kehidupan dengan manusia di Dunia ini.
        Dengan menerapkan falsafah itu tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modrn yang lebih mengedepankan Individualisme dan materialism yang cenderung menimbulkan kekerasan.  Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat mengapus pandangan yang mendorong komsumsiresme, pertikain, dan gejolak marah. Ajaran tersebut meliputi :
Manusia dengan Tuhan (Parhyangan)
Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan atman ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan, yang menyababkan manusia bisa hidup. Manusia berhutang nyawa pada Tuhan, oleh karena itu setiap manusia wajib berterimakasih, berbakti, dan selalu sujud. Itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesarannya. Dengan menjalankan ajaran Parhyangan ini maka manusia akan dapat lebih menekatkan diri dengan Tuhan sehingga sifat-sfat sad ripu yang dapat menimbulkan kekerasan akan dapat dicegah.
Manusia dengan lingkungan (Palemahan)
Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu, manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungan, dengan demikian manusia sangat tergantung pada lingkungan. Oleh karena itu manusia sudah berkewajiban untuk menjaga keharmonisan di dalam lingkungan, baik itu dengan alam ataupun dengan isinya (makhluk hidup).
Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Sebagai makhluk sosial,manusia tidak bisa hidup menyendiri.  Merka memerlukan bantuan dari kerjasama oaring lain, karena itu hubungan dengan sesama harus baik dan harmonis. Hubungan antara sesama harus berlandaskan saling asah, asuh, asih. Yang artinya saling menghargai, mengasihi, dan melindungi. hubungan antara keluarga dirumah harus harmonis, dengan masyarakat juga harus harmonis. Hubungan baik ini mnenciptakan keamanan dan kedamaian lahiar batin dan masyarakat yang aman akan menciptakan tujuan yang tentram dan sejahtera.
3)      Tat Twam Asi
Ajaran tatwam berbunyi, “aku adalah kamu, kamu adalah aku.”
Jika aku adalah kamu, maka aku selayaknya menyayangimu, sesayang aku pada tubuh dan jiwaku. Sesakit aku menyakiti diriku, seperti itulah jika aku menyakitimu. Aku tak ingin hatimu retak seperti cawan keramik terkena goyangan gempa. Jika aku mencelamu, maka aku mencela diriku sendiri. Mencemoohmu, sama dengan mencemoohku.
 (Ajaran Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau adalah aku.” Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.)
4)      Ahimsa dan Himsa
Perkataan Ahimsa berasal dari dua kata yaitu : “a” artinya tidak, “himsa” artinya menyakiti, melukai, atau membunuh. Jadi, Ahimsa artinya tidak menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan, dan tingkah laku secara sewenang – wenang. Agama Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan amat utama. Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya kebajikan ( Dharma ) yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu adalah tidak membunuh. Namun, uraian itu jangan ditafsirkan secara ekstrim ( kaku ) karena bisa bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut ( agama Hindu ). Dengan demikian kita boleh membunuh untuk mempertahankan hidup asal tidak didorong dengan Nafsu atau Sad Ripu yaitu : Kama ( keinginan ), Lobha ( rakus, lobha ), Krodha ( marah ), Mada ( angkuh, mabuk ), Moha ( kebingungan ), Matsarya ( iri hati ). Jadi, meskipun ajaran Ahimsa itu berarti tidak membunuh tetapi dalam batas – batas tertentu kita diperbolehkan membunuh.  Contoh : di dalam Kitab Slokantara disebutkan ada empat macam pembufnuhan yang diperbolehkan, yaitu :
1.            Dewa Puja     : Persembahan kepada DEwa ( Dewa Yadnya )
2.            Pitra Puja       : Persembahan kepada Roh leluhur ( Pitra Yadnya )
3.            Athiti Puja     : Persembahan kepada tamu yang kita hormati
4.            Dharma Wighata : kewajiban bagi semua orang membunuh mahluk yang mengganggu atau memberi penderitaan terhadap umat manusia.
Sedangkan mahluk yang kita persembahkan kepada Dewa Puja, Pitra Puja, Athiti Puja, dan Dharma Wighata pun kalau untuk upacara berarti kita menolong untuk meningkatkan jiwanya, sebab sebelum menyembelih binatang biasanya terlebih dahulu diberi mantram yang berbunyi  sebagai berikut “ Om Papasayah wiwaha ceras shadayat dimahitano jiwah pracodayat “ artinya : “Ya Tuhan saya hendak memotong hewan atau binatang ini dengan memotong kepalanya, semoga jiwanya dapat meningkat. “ Dengan demikian sebenarnya ajaran Ahimsa itu tidak lain harus memperhatikan dan mengendalikan tingkah lakunya agar pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak menyakiti orang lain atau mahluk lain. Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain maka disebut perbuatan Himsa. Oleh karena itu hindari perbuatan Himsa terhadap semua mahluk. Kita harus saling asah, asih, dan asuh terhadap sesamanya. Karena jiwatman kita sama dengan jiwatman mahluk lain yang berasal dari satu sumber yaitu Paramaatman ( Sang Hyang Widhi ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar