Sabtu, 04 Januari 2014

Agama dan Kesetaraan Gender



BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah
                 Seperti kita tahu bersama bahwa gender atau yang kita kenal dengan jenis kelamin merupakan salah satu factor yang menyebabkan adanya ketimpangan social di dalam masyarakat. Ketidaksetaraan gender membuat beberapa orang tidak memperoleh hak dan kewajibannya, sehingga terjadilah ketimpagan di dalam masyarakat. Biasanya ketidaksetaraan gender dialami oleh kebanyakan perempuan. Karena dianggap lebih rendah derajatnya dari laki-laki, maka sebagian dari perempuan Indonesia tidak bisa mendapat hak dan melakukan kewajibannya.
                 Oleh karena itu, banyak kita lihat para aktivis perempuan menentang adanya ketidaksetaraan gender, karena mereka menganggap perempuan juga berhak atas hal yang sama dengan laki-laki. Disebabkan oleh ketidaksetaraan gender ini pula pemerintah menyediakan perlindungan bagi para perempuan yang tidak memperoleh keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat karena statusnya yang “perempuan”. Contoh dari persoalan diatas adalah pada saat ada seorang perempuan yang berstatus janda di dalam masyarakat,maka dia akan dianggap buruk oleh masyarakat karena statusnya itu. Padahal bila hal itu terjadi pada laki-laki yang berstatus duda, masyarakat tidak terlalu memusingkan hal itu, dan menganggap itu bukan hal yang tabu atau tidak pantas. Oleh karena itu, kesetaraan gender merupakan hal yang sangat penting untuk dicermati.
2.      Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud kesetaraan gender?
Apa wujud ketidaksetaraan gender di dalam masyarakat?
Bagaimana pandangan etis agama terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan?



3.      Batasan Konseptual
Apa yang dimaksud dengan kesetaraan?
                 Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Apa pengertian dari gender itu sendiri?
                 Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam Websters New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
                 Di dalam Womens Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
                 Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).
                 H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).
                 Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah jender. Jender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
                 Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.



















BAB II
DESKRIPSI DAN ANALISIS

2.1 Pengertian Kesetaraan Gender
Gender sendiri adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
            Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
            Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Selain itu ada juga istilah keadilan gender, keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peranataupun kekerasan terhadap laki-laki maupun perempuan.
2.2 Wujud Ketidaksetaraan Gender di Dalam Masyarakat
            Ideologi gender akan menjadi rancu dan merusak relasi permpuan dan laki-laki, ketika dicampuradukkan dengan pangertia seks (jenis kelamin). Pada waktu perbedaan seks dan gender tidak dilihat secara kritis, maka muncullah masalah gender yang berwujud ketidakadilan gender. Masalah ketidakadilan/ ketidak setaraan bentuknya adalah pandangan  subordinat terhadap perempuan, beban ganda dari perempuan, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dari jenis ketidaksetaraan gender tersebut, nampak bahwa korban ketidakadilan ini sebagian besar adalah perempuan. Kita terlebih dulu akan menelusuri sejarah relasi perempuan dan laki-laki.
            Pada waktu manusia masih berpikir secara sederhana, mereka membutuhkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Dari sisni kemudian muncul perbedaan jenis pekerjaan luar (publik) dan pekerjaan dalam (domestik). Terisolasi oleh lingkungan hidupnya, maka hidup perempuan cenderung berkelompok, mengelola makanan dan obat-obatan. Ini berbeda dengan laki-laki yang bekerja di luar secara bebas . Aturan kehidupan dibuat oleh perempuan yang hidupnya menetap. Budaya ini disebut budaya matriarkhat, dengan anak dikenal dari garis keturunan ibu( Nunuk Murniarti, 2004:79).
            Perubahan budaya matriarkhat menjadi patriarkhat,terjadi pada waktu laki-laki mengenal peternakan yang menciptakan harta dan membutuhkan pelimpahan harta sebagai hak waris. Karena kebutuhan pelimpahan ini, laki-laki mulai mencari keturunannya untuk diberi hak waris. Sejak itu, anak dikenal sebagai garis keturunan ayah. Awalnya perubahan itu hanya wajar saja. Namun kemudian hak mengambil keputusan dalam kehidupan adalah milik laki-laki. Perjalanan budaya ini makin kuat, ketika terjadi perubahan sosial ke masyarakat feodal. Akibatnya terdapat pandangan bahwa norma manusia dianggap paling benar apabila dipandang dari sudut laki-laki. Semua itu berlaku dari sudut pandang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Keadaan inilah yang melahirkan semacam diskriminasi terhadap perempuan. Berikut merupakan wujud dari ketidaksetaraan gender/ketidakadilan perlakuan yang dialami oleh para wanita:
a.       Menurut PBB memberi informasi bahwa perempuan mengerjakan 2/3 pekerjaan seluruh dunia, tetapi hanya menerima gaji 1/10 dari penghasilan di seluruh dunia.
b.      Dari penduduk dunia yang masih buta huruf, 2/3 adalah perempuan.
c.       Perempuan di dunia hanya memiliki kekayaan 1/100 kekayaan dunia.
Data tersebut merupakan hasil dari penelitian badan internasional yaitu PBB. Di   bawah ini merupakan gambaran ketidaksetaraan gender yang diperoleh dari Indonesia.
a.       Keluarga Berencana (KB) di Indonesia, memilih kebijakan bahwa perempuan dijadikan objek utama akseptor. Hal ini tampak dari alat kontrasepsi untu perempuan daripada laki-laki.
b.      Hasil pekerjaan domestik, seperti mengasuh anak, menyiapkan makanan, mengelola rumah, memelihara kesehatan keluarga, tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif.
c.       Haid merupakan kodrat perempuan. Tetapi haid itu justru dianggap kotor  sehingga  perempuan tidak boleh memimpin agama.
d.      Pernyataan politik bahwa perempuan dinyatakan sebagai pencari penghasilan tambahan, ternyata dalam pelaksanaanya menghalalkan gaji yang lebih rendah, daripada yang diterima laki-laki.
e.       Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan.
Dari beberapa hal di atas, dapat diketahui bahwa ketidakadilan perempuan tidak  hanya menyangkut satu aspek kehidupan saja. Ketidakadilan itu juga terjadi dari dalam beberapa aspek kehidupan. Akibatnya, perempuan sulit untuk mengaktualisasikan dirinya. Struktur sosial dengan sistem patriarkhi menyebabkan perempuan secara berkelompok hidup dalam penderitaan. Perempuan tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Namun sering dijadikan sebagai objek dari keputusan-keputusan sosial politik.
2.3  Pandangan Etis Agama Terhadap Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan
            Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses belajar, manusai membedakan jenis laki-laki dan perempuan. Tidak hanya aspek biologisnya saja, tetapi juga dikaitkan dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Dalam kehidupan berbudaya, manusia menciptakan berbagai aturan main untuk mengatur hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Agama merupakan salah satu wujud dari kebudayaan manusia. Seperti hasil budaya yang lain, agama dikembangkan berdasarkan pola berpikir yang sudah ada dalam masyarakat. Ideologi gender juga mewarnai munculnya agama-agama dan perkembangannya.
            Dalam tradisi hindhu misalnya, tidak mengakuki bahwa kehidupan religius hanya bersumber pada kitab suci saja. Ada pula ajaran-ajaran yang diperoleh dari tradisi lisan dan praktik ritus. Dalam ajaran ini, perempuan dikaitkan dengan status sosial. Perempuan dilihat sebagai pemberi keberuntungan karena meraka haid. Menjadi istri, dan melahirkan anak. Perempuan ideal “sati”, yaitu perempuan yang menikah dan berkorban untuk menyelamatkan suami. Dengan demikian, perempuan tidak pernah mandiri, karena sebagai perempuan ideal mereka dibebani tugas yang sangat berat. Ini menghalangi hak-hak perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.
            Dalam agama budha, perempuan dianggap kotor, dituduh sebagai penggoda laki-laki yang ingin menjadi suci. Sekularisasi dalam Budha, telah mengubah aturan-aturan beragama, tidak hanya dalam prinsipnya tetapi juaga dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan tidak boleh:
1.      Brahma/ dewa pencipta/ dewa tertinggi.
2.      Dewa pelindung kaum Budha.
3.      Mara/ setan penghancur kehidupan dan kemauan manusia.
4.      Raja dari 4 penjuru (utara, barat, selatan, timur).
Contoh lain dapat dipelajari dari agama Yahudi, yang tradisinya kemudian diteruskan oleh agama Kristen dan Katolik. Dalam perikopa, “manusia jatuh ke dalam dosa”, status perempuan dijadikan subjek penyebab dosa. Sehingga perempuan dihukum dengan kesakitan saat melahirkan. Kitab kejadian ini, kemudian diikuti oleh kitab-kitab yang lain, seperti Amsal 31;10-31 yang memuat ajaran bagaimana istri yang sempurna. Kitab imamat 15: 19-24 mengatur bagaimana perempuan berperilaku selama menstruasi yang dianggap sebagai masa kotor dan najis. Beberapa perikopa dalam kitab suci, ditafsirkan oleh Bapa Gereja dengan sangat memojokkan perempuan. Misalnya perempuan tidak diberi hak berbicara pada saat pertemuan jemaat.
Dalam ajaran islam, ada beberapa hadist yang menggambarkan posisi perempuan di mata laki-laki. Misalnya dalam sabda Nabi  Muhammad yang berbunyi :
Wanita yang terbaik ialah wanita yang menarik hatimu bila kau pandang, dan taat bila kau perintah, dan tahu menjaga kehormatannya bila kau sedang pergi dan berhati-hati menjaga hartamu” ( HR. Thabrani).
Selain hadist tersebut, juga ada ayat dalam Al-Qur’an yang seolah memandang perempuan tidak bisa memimpin. Dalam Al-Qur’an (Surat An-Nisa’ ayat 34) disebutkan :
Laki-laki itu menjadi pemimpin bagi wanita, karena Allah telah memberikan kelebihan sebagian dari yang lain, dan karena laki-laki (suami) telah menafkahkan sebagian dari hartanya” (QS. An-Nisa’ : 24).
Tentunya masih banyak contoh dari berbagai susdut pandang agama tentang bagaimana budaya patriarki yang dikonstruksi oleh manusia itu sendiri. Perlahan-lahan ditempeli label agama, sehingga peminggiran peran-peran perempuan seolah menjadi sah, kodrati, Ilahi, dan yidak pantas diberontaki karena dosa. Begitu banyak  ayat yang ditafsirkan dalam bahasa laki-laki dan cerminan dari konstruksi sosial masyarakatnya. Yang kemudian kondisi itu terkadang membuat kaum perempuan sendiri menjadi tidak kritis dan pasrah.  
Padahal pada dasarnya perempuan juga mempunyai hak-hak untuk megaktualisasikan diri mereka. Hal seperti ini juga sudah dipaparkan dari berbagai sisi agama. Namun sayangnya, banyak  laki-laki dan perempuan yang masih belum menyadari akan hal ini. Sehingga budaya patriarki seolah-olah adalah harga mati untuk meminggirkan peran wanita. Berikut ini adalah beberapa hak-hak perempuan yang telah dipaparkan dari berbagai segi agama.
Dalam agama islam kedudukan wanita bisa dikatakan lebih tinggi karena memiliki rahim. Wanita lebih banyak keunggulannya, seperti yang dikatakan oleh ayat berikut:
Al-Qur’an mengatakan: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan menciptakan pasangannya, dan dari keduanyaAllah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan peliharalah hubungan kekeluargaan(Talirahim).
            Ayat ini jelas menunjukkan bahwa pria dan wanita dalam Islam setara secara intrinsik dalam peristiwa penciptaan ,  dan secara ekstrinsik dalam hubungan mereka satu sama lain maupun kewajiban-kewajiban mereka terhadap Tuhan. Al-Qur’an seakan lebih meninggikan perempuan karena ia menyebutkan rahim di akhir ayat ini, tentu sebagai penghormatan atas peran mereka sebagai ibu. Dalam islam juga telah diajarkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapanNya.
Dalam agama Hidhu juga telah disebutkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Selain Dewi Saraswati, Hindu juga memuja simbol-simbol Tuhan dalam wujud perempuan, seperti Dewi Lakshmi, Parwati, dan Savitri. Dalam pengertian ini teologi Hindu memandang bahwa perwujudan perempuan sebagai suatu eksistensi yang suci muncul dari pengertian Shakti. Shakti dimaknai dalam metafisika Hindu sebagai unsur atau aspek feminin dari Brahman atau Tuhan. Shakti atau kekuatan feminin dari Tuhan merupakan faktor penting dalam harmonisasi alam semesta. Dari pengertian ini, sesungguhnya Veda memandang perempuan sebagai sosok yang vital, sebagai pengampu pengetahuan, dan subjek yang patut untuk dihormati.
Dalam agama budha, sempat pernah ada pernyataan bahwa perempuan tidak boleh menjadi Budha. Itu artinya mereka tidak dapat diselamatkan. Ajaran ini sangat bertentangan dengan ajaran Budha sejati, bahwa semua manusia dapat mencapai Budha ( Nunuk Murniarti, 2004:8). Bahkan dalam Budha juga memperbolehkan seorang perempuan untuk menjadi seorang bhiksuni.
Dalam agama Katolik, mengangkat Maria, yakni ibunda Yesus sebagai simbol perempuan dan memasukkan dalam tradisis Katolik. Dalam sudut pandang kitab suci, dimunculkan tafsir dari pilihan perikop tertentu, yang menunjukkan bahwa Bunda Maria berperan aktif dalam pewartaan kasih.
Dalam agama Kristen, sekurangnya dua kali dalam tamsil-tamsil Yesus, digunakan figur seorang perempuan yang patut diteladani iman dan kesungguhan hatinya, yaitu perempuan yang gigih membela perkaranya terhadap seorang hakim yang tidak adil (Lukas 18: 2-8) dan perempuan yang mencari mata uang yang hilang (Lukas 15:8-10).
 Isa Almasih a.s. tidak pernah mengucapkan kata-kata yang eksplisit atau implisit mendukung pandangan bahwa wanita lebih rendah derajatnya dari kaum lelaki. Kaum perempuan selalu dihormati dalam ajaran Beliau dan mereka tidak pernah direndahkan -- fakta ini patut diperhatikan dan diikuti oleh para pengkhotbah moderen jaman ini. Dalam gereja sekarang, perempuan acap kali dijadikan obyek olok-olok, pada hal kelakuan demikian tidak pernah dilakukan oleh Almasih a.s. sendiri.






BAB III
KESIMPULAN
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Ajaran dan ujaran agama memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender yang bias. Dalam konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi dan dorongan munculnya ketidakadilan gender. Potensi ketidakadilan itu bukan bersumber dari agama, melainkan karena proses perkembangan agama yang didominasi oleh budaya patriarkhat. Untuk itu ajaranagama harus ditinjau ulang dan dianalisi secara kritis, terutama ajaran tentang faktor yang kodrati. Pada dasarnya semua agama mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sama derajadnya.












Daftar Pustaka :

Nunuk Murniarti. 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama,
             Budaya, dan Keluarga. Magelang: Indonesia Tera.
Pusat Kajian Wanita dan Gender. 2007. Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk
            Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
Rainer Funk. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarkhi : Kajian Kompereherensif Tentang
            Gender. Bandung: Jalasutra.
Muh. Roqib. 2007. Harmoni Islam Budaya Jawa: Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender.
            Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.

                  





 



Disusun oleh kelompok 5 :
1.      Trendy Chrismanto                             292011245
2.      Aniza Dwi Anggraeni                         292011238
3.      Munding Riyani                                  152008018
4.      Yovella Marcell                                   102010002
5.      Agus L.N. Sairo                                  352011015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar