BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Seperti
kita tahu bersama bahwa gender atau yang kita kenal dengan jenis kelamin merupakan salah satu factor
yang menyebabkan adanya ketimpangan social di dalam masyarakat. Ketidaksetaraan
gender membuat beberapa orang tidak memperoleh hak dan kewajibannya, sehingga
terjadilah ketimpagan di dalam masyarakat. Biasanya ketidaksetaraan
gender dialami oleh kebanyakan perempuan. Karena dianggap lebih rendah
derajatnya dari laki-laki, maka sebagian dari perempuan Indonesia tidak bisa
mendapat hak dan melakukan kewajibannya.
Oleh
karena itu, banyak kita lihat para aktivis perempuan menentang adanya
ketidaksetaraan gender, karena mereka menganggap perempuan juga berhak atas hal
yang sama dengan laki-laki. Disebabkan oleh ketidaksetaraan gender ini pula
pemerintah menyediakan perlindungan bagi para perempuan yang tidak memperoleh
keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat karena statusnya yang “perempuan”.
Contoh dari persoalan diatas adalah pada saat ada seorang perempuan yang
berstatus janda di dalam masyarakat,maka dia akan dianggap buruk oleh
masyarakat karena statusnya itu. Padahal bila hal itu terjadi pada laki-laki
yang berstatus duda, masyarakat tidak terlalu memusingkan hal itu, dan
menganggap itu bukan hal yang tabu atau tidak pantas. Oleh karena itu,
kesetaraan gender merupakan hal yang sangat penting untuk dicermati.
2. Rumusan
Masalah
Apa
yang dimaksud kesetaraan gender?
Apa
wujud ketidaksetaraan gender di dalam masyarakat?
Bagaimana
pandangan etis agama terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan?
3. Batasan
Konseptual
Apa
yang dimaksud dengan kesetaraan?
Kesetaraan
berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut
kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya
sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau
kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama,
tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Apa
pengertian dari gender itu sendiri?
Kata
gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam Websters New
World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di
dalam Womens Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary
M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction
mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan
dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan
masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah
termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or
feminin is a component of gender).
H.
T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk
menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan
laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter
yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep
analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender
is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject
matter we proceed to study as we try to define it).
Kata
gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi
istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita dengan istilah jender. Jender diartikan sebagai
interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan
perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang
dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dari
berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk
rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat
kodrati.
BAB
II
DESKRIPSI
DAN ANALISIS
2.1
Pengertian Kesetaraan Gender
Gender
sendiri adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh
masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum
tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Gender
bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan
dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan
dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan
peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang
dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan
zaman.
Kesetaraan
gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan. Selain itu ada juga istilah keadilan gender, keadilan gender
adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan
keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peranataupun kekerasan terhadap laki-laki
maupun perempuan.
2.2 Wujud
Ketidaksetaraan Gender di Dalam Masyarakat
Ideologi gender akan menjadi rancu
dan merusak relasi permpuan dan laki-laki, ketika dicampuradukkan dengan
pangertia seks (jenis kelamin). Pada waktu perbedaan seks dan gender tidak
dilihat secara kritis, maka muncullah masalah gender yang berwujud
ketidakadilan gender. Masalah ketidakadilan/ ketidak setaraan bentuknya adalah
pandangan subordinat terhadap perempuan,
beban ganda dari perempuan, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Dari jenis ketidaksetaraan gender tersebut, nampak bahwa korban ketidakadilan ini
sebagian besar adalah perempuan. Kita terlebih dulu akan menelusuri sejarah
relasi perempuan dan laki-laki.
Pada waktu manusia masih berpikir
secara sederhana, mereka membutuhkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.
Dari sisni kemudian muncul perbedaan jenis pekerjaan luar (publik) dan
pekerjaan dalam (domestik). Terisolasi oleh lingkungan hidupnya, maka hidup
perempuan cenderung berkelompok, mengelola makanan dan obat-obatan. Ini berbeda
dengan laki-laki yang bekerja di luar secara bebas . Aturan kehidupan dibuat
oleh perempuan yang hidupnya menetap. Budaya ini disebut budaya matriarkhat, dengan anak dikenal dari
garis keturunan ibu( Nunuk
Murniarti, 2004:79).
Perubahan
budaya matriarkhat menjadi patriarkhat,terjadi pada waktu laki-laki
mengenal peternakan yang menciptakan harta dan membutuhkan pelimpahan harta
sebagai hak waris. Karena kebutuhan pelimpahan ini, laki-laki mulai mencari
keturunannya untuk diberi hak waris. Sejak itu, anak dikenal sebagai garis
keturunan ayah. Awalnya perubahan itu hanya wajar saja. Namun kemudian hak
mengambil keputusan dalam kehidupan adalah milik laki-laki. Perjalanan budaya
ini makin kuat, ketika terjadi perubahan sosial ke masyarakat feodal. Akibatnya
terdapat pandangan bahwa norma manusia dianggap paling benar apabila dipandang
dari sudut laki-laki. Semua itu berlaku dari sudut pandang sosial, ekonomi,
politik, dan kebudayaan. Keadaan inilah yang melahirkan semacam diskriminasi
terhadap perempuan. Berikut merupakan wujud dari ketidaksetaraan
gender/ketidakadilan perlakuan yang dialami oleh para wanita:
a. Menurut
PBB memberi informasi bahwa perempuan mengerjakan 2/3 pekerjaan seluruh dunia,
tetapi hanya menerima gaji 1/10 dari penghasilan di seluruh dunia.
b. Dari
penduduk dunia yang masih buta huruf, 2/3 adalah perempuan.
c. Perempuan
di dunia hanya memiliki kekayaan 1/100 kekayaan dunia.
Data
tersebut merupakan hasil dari penelitian badan internasional yaitu PBB. Di bawah
ini merupakan gambaran ketidaksetaraan gender yang diperoleh dari Indonesia.
a. Keluarga
Berencana (KB) di Indonesia, memilih kebijakan bahwa perempuan dijadikan objek
utama akseptor. Hal ini tampak dari alat kontrasepsi untu perempuan daripada
laki-laki.
b. Hasil
pekerjaan domestik, seperti mengasuh anak, menyiapkan makanan, mengelola rumah,
memelihara kesehatan keluarga, tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif.
c. Haid
merupakan kodrat perempuan. Tetapi haid itu justru dianggap kotor sehingga perempuan tidak boleh memimpin agama.
d. Pernyataan
politik bahwa perempuan dinyatakan sebagai pencari penghasilan tambahan,
ternyata dalam pelaksanaanya menghalalkan gaji yang lebih rendah, daripada yang
diterima laki-laki.
e. Di
bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki.
Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang
mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada
perempuan.
Dari
beberapa hal di atas, dapat diketahui bahwa ketidakadilan perempuan tidak hanya menyangkut satu aspek kehidupan saja.
Ketidakadilan itu juga terjadi dari dalam beberapa aspek kehidupan. Akibatnya,
perempuan sulit untuk mengaktualisasikan dirinya. Struktur sosial dengan sistem
patriarkhi menyebabkan perempuan secara berkelompok hidup dalam penderitaan.
Perempuan tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Namun sering
dijadikan sebagai objek dari keputusan-keputusan sosial politik.
2.3
Pandangan Etis Agama Terhadap Kesetaraan
Laki-laki dan Perempuan
Manusia sejak lahir sudah dibuatkan
identitas oleh orang tuanya. Melalui proses belajar, manusai membedakan jenis
laki-laki dan perempuan. Tidak hanya aspek biologisnya saja, tetapi juga
dikaitkan dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Dalam kehidupan
berbudaya, manusia menciptakan berbagai aturan main untuk mengatur hubungan
antar manusia dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Agama merupakan salah satu wujud dari
kebudayaan manusia. Seperti hasil budaya yang lain, agama dikembangkan
berdasarkan pola berpikir yang sudah ada dalam masyarakat. Ideologi gender juga
mewarnai munculnya agama-agama dan perkembangannya.
Dalam tradisi hindhu misalnya, tidak
mengakuki bahwa kehidupan religius hanya bersumber pada kitab suci saja. Ada
pula ajaran-ajaran yang diperoleh dari tradisi lisan dan praktik ritus. Dalam
ajaran ini, perempuan dikaitkan dengan status sosial. Perempuan dilihat sebagai
pemberi keberuntungan karena meraka haid. Menjadi istri, dan melahirkan anak.
Perempuan ideal “sati”, yaitu perempuan yang menikah dan berkorban untuk
menyelamatkan suami. Dengan
demikian, perempuan tidak pernah mandiri, karena sebagai perempuan ideal mereka
dibebani tugas yang sangat berat. Ini menghalangi hak-hak perempuan untuk
mengaktualisasikan dirinya.
Dalam agama budha, perempuan dianggap kotor,
dituduh sebagai penggoda laki-laki yang ingin menjadi suci. Sekularisasi dalam
Budha, telah mengubah aturan-aturan beragama, tidak hanya dalam prinsipnya
tetapi juaga dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan tidak boleh:
1.
Brahma/ dewa pencipta/ dewa tertinggi.
2.
Dewa pelindung kaum Budha.
3.
Mara/ setan penghancur kehidupan dan kemauan manusia.
4.
Raja dari 4 penjuru (utara, barat, selatan, timur).
Contoh lain dapat dipelajari dari agama
Yahudi, yang tradisinya kemudian diteruskan oleh agama Kristen dan Katolik.
Dalam perikopa, “manusia jatuh ke dalam dosa”, status perempuan dijadikan
subjek penyebab dosa. Sehingga perempuan dihukum dengan kesakitan saat
melahirkan. Kitab kejadian ini, kemudian diikuti oleh kitab-kitab yang lain,
seperti Amsal 31;10-31 yang memuat ajaran bagaimana istri yang sempurna. Kitab
imamat 15: 19-24 mengatur bagaimana perempuan berperilaku selama menstruasi
yang dianggap sebagai masa kotor dan najis. Beberapa perikopa dalam kitab suci,
ditafsirkan oleh Bapa Gereja dengan sangat memojokkan perempuan. Misalnya
perempuan tidak diberi hak berbicara pada saat pertemuan jemaat.
Dalam ajaran islam, ada beberapa hadist yang
menggambarkan posisi perempuan di mata laki-laki. Misalnya dalam sabda
Nabi Muhammad yang berbunyi :
“ Wanita
yang terbaik ialah wanita yang menarik hatimu bila kau pandang, dan taat bila
kau perintah, dan tahu menjaga kehormatannya bila kau sedang pergi dan berhati-hati
menjaga hartamu” ( HR. Thabrani).
Selain hadist tersebut, juga ada ayat dalam
Al-Qur’an yang seolah memandang perempuan tidak bisa memimpin. Dalam Al-Qur’an
(Surat An-Nisa’ ayat 34) disebutkan :
“ Laki-laki
itu menjadi pemimpin bagi wanita, karena Allah telah memberikan kelebihan
sebagian dari yang lain, dan karena laki-laki (suami) telah menafkahkan
sebagian dari hartanya” (QS. An-Nisa’ : 24).
Tentunya masih banyak contoh dari berbagai
susdut pandang agama tentang bagaimana budaya patriarki yang dikonstruksi oleh
manusia itu sendiri. Perlahan-lahan ditempeli label agama, sehingga peminggiran
peran-peran perempuan seolah menjadi sah, kodrati, Ilahi, dan yidak pantas
diberontaki karena dosa. Begitu banyak
ayat yang ditafsirkan dalam bahasa laki-laki dan cerminan dari
konstruksi sosial masyarakatnya. Yang kemudian kondisi itu terkadang membuat
kaum perempuan sendiri menjadi tidak kritis dan pasrah.
Padahal pada dasarnya perempuan juga
mempunyai hak-hak untuk megaktualisasikan diri mereka. Hal seperti ini juga
sudah dipaparkan dari berbagai sisi agama. Namun sayangnya, banyak laki-laki dan perempuan yang masih belum
menyadari akan hal ini. Sehingga budaya patriarki seolah-olah adalah harga mati
untuk meminggirkan peran wanita. Berikut ini adalah beberapa hak-hak perempuan
yang telah dipaparkan dari berbagai segi agama.
Dalam agama islam kedudukan wanita bisa
dikatakan lebih tinggi karena memiliki rahim. Wanita lebih banyak
keunggulannya, seperti yang dikatakan oleh ayat berikut:
Al-Qur’an
mengatakan: “Wahai manusia! Bertakwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan menciptakan
pasangannya, dan dari keduanyaAllah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta,
dan peliharalah hubungan kekeluargaan(Talirahim).
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa pria dan wanita dalam Islam setara secara intrinsik dalam peristiwa penciptaan , dan secara ekstrinsik dalam hubungan mereka satu sama lain maupun kewajiban-kewajiban mereka terhadap Tuhan. Al-Qur’an seakan lebih meninggikan perempuan karena ia menyebutkan rahim di akhir ayat ini, tentu sebagai penghormatan atas peran mereka sebagai ibu. Dalam islam juga telah diajarkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapanNya.
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa pria dan wanita dalam Islam setara secara intrinsik dalam peristiwa penciptaan , dan secara ekstrinsik dalam hubungan mereka satu sama lain maupun kewajiban-kewajiban mereka terhadap Tuhan. Al-Qur’an seakan lebih meninggikan perempuan karena ia menyebutkan rahim di akhir ayat ini, tentu sebagai penghormatan atas peran mereka sebagai ibu. Dalam islam juga telah diajarkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapanNya.
Dalam agama Hidhu juga telah disebutkan adanya kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Selain Dewi Saraswati, Hindu juga memuja
simbol-simbol Tuhan dalam wujud perempuan, seperti Dewi Lakshmi, Parwati, dan
Savitri. Dalam pengertian ini teologi Hindu memandang bahwa perwujudan
perempuan sebagai suatu eksistensi yang suci muncul dari pengertian Shakti.
Shakti dimaknai dalam metafisika Hindu sebagai unsur atau aspek feminin dari
Brahman atau Tuhan. Shakti atau kekuatan feminin dari Tuhan merupakan faktor
penting dalam harmonisasi alam semesta. Dari pengertian ini, sesungguhnya Veda
memandang perempuan sebagai sosok yang vital, sebagai pengampu pengetahuan, dan
subjek yang patut untuk dihormati.
Dalam agama budha, sempat pernah ada
pernyataan bahwa perempuan tidak boleh menjadi Budha. Itu artinya mereka tidak
dapat diselamatkan. Ajaran ini sangat bertentangan dengan ajaran Budha sejati,
bahwa semua manusia dapat mencapai Budha ( Nunuk Murniarti, 2004:8). Bahkan
dalam Budha juga memperbolehkan seorang perempuan untuk menjadi seorang
bhiksuni.
Dalam agama Katolik, mengangkat Maria,
yakni ibunda Yesus sebagai simbol perempuan dan memasukkan dalam tradisis
Katolik. Dalam sudut pandang kitab suci, dimunculkan tafsir dari pilihan
perikop tertentu, yang menunjukkan bahwa Bunda Maria berperan aktif dalam
pewartaan kasih.
Dalam agama Kristen, sekurangnya dua kali dalam tamsil-tamsil Yesus,
digunakan figur seorang perempuan yang patut diteladani iman dan kesungguhan
hatinya, yaitu perempuan yang gigih membela perkaranya terhadap seorang hakim
yang tidak adil (Lukas 18: 2-8) dan perempuan yang mencari mata uang yang
hilang (Lukas 15:8-10).
Isa Almasih a.s. tidak pernah mengucapkan
kata-kata yang eksplisit atau implisit mendukung pandangan bahwa wanita lebih
rendah derajatnya dari kaum lelaki. Kaum perempuan selalu dihormati dalam
ajaran Beliau dan mereka tidak pernah direndahkan -- fakta ini patut diperhatikan
dan diikuti oleh para pengkhotbah moderen jaman ini. Dalam gereja sekarang,
perempuan acap kali dijadikan obyek olok-olok, pada hal kelakuan demikian tidak
pernah dilakukan oleh Almasih a.s. sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Ajaran dan ujaran agama memiliki potensi
dominan dalam penerapan ideologi gender yang bias. Dalam konteks itu pula,
agama bisa memberikan inspirasi dan dorongan munculnya ketidakadilan gender.
Potensi ketidakadilan itu bukan bersumber dari agama, melainkan karena proses
perkembangan agama yang didominasi oleh budaya patriarkhat. Untuk itu
ajaranagama harus ditinjau ulang dan dianalisi secara kritis, terutama ajaran
tentang faktor yang kodrati. Pada dasarnya semua agama mengajarkan bahwa
laki-laki dan perempuan diciptakan sama derajadnya.
Daftar Pustaka :
Nunuk Murniarti. 2004. Getar Gender:
Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama,
Budaya, dan
Keluarga. Magelang: Indonesia
Tera.
Pusat Kajian Wanita dan Gender. 2007. Hak
Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk
Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rainer Funk. 2007. Cinta,
Seksualitas, dan Matriarkhi : Kajian Kompereherensif Tentang
Gender. Bandung: Jalasutra.
Muh. Roqib. 2007. Harmoni Islam
Budaya Jawa: Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender.
Purwokerto: STAIN
Purwokerto Press.
Disusun
oleh kelompok 5 :
1. Trendy
Chrismanto 292011245
2. Aniza
Dwi Anggraeni 292011238
3. Munding
Riyani 152008018
4. Yovella
Marcell 102010002
5. Agus
L.N. Sairo 352011015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar