Sabtu, 04 Januari 2014

Makna Pakaian Adat Ke Pura

Di Bali yang kental akan nuansa adat dan budaya, tentu saja memiliki banyak filosofi didalamnya. Bali yang dikenal juga dengan nama seribu Pura. Pura adalah tempat suci umat Hindu di Bali yang digunakan sebagai tempat persembahyangan. Tentu saja ketika persembahyangan akan dilakukan yang perlu dipersiapkan dari segi sarana sembahyang, dan pakaian, yang merupakan suatu simbol kita benar-benar ada persiapan yang begitu dalam untuk memuja Beliau (Ida Hyang Widhi Wasa). Seiring berjalannya waktu, mode, dan tren globalisasi yang banyak memberikan perubahan, memberikan imbas juga kepada cara berpakaian adat ke pura di Bali, terutama cara berpakaian anak muda yang mengikuti saja arus yang sedang tren. Memang cara berpakaian adalah kebebasan berkreasi dari masing-masing individu tapi perlu diketahui, apa sebenarnya makna dari pakaian adat ke pura ?
  1. Pakaian adat Bali haruslah sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian.
  2. Terbagi atas 3 bagian
a.    Atas : Kepala (Dewa)
Untuk putra mengenakan udeng, dan wanita rambutnya diikat rapi. Di bagian kepala yang kerap diistilahkan Prabu, adalah tempat bersemayamnya Dewa. Akal, Pikiran, serta awal dari semua perbuatan yang diberkati oleh Hyang Widhi. Awalnya agar adanya keseragaman PHDI (Parisadha Hindu Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna Putih agar menciptakan kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran. Serta ujung udeng, atau muncuk udeng harus lurus keatas. Mengapa? Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berfikir lurus, memuja Yang Diatas. Tapi simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai variasi (mereng ke-kiri atau ke-kanan, hehe).
b.    Tengah : Dada-Pinggang (Manusa)
Melambangkan manusia itu sendiri. Maksudnya pakaian yang layak pakai, nyaman. Yang bisa membuat sang penggunanya kushuk saat bersembahyang. Disarankan lagi yang berwarna Putih.
c.    Bawah : Pinggang-Ujung (Bhuta)
Bhuta atau raksasa yang menempati alam bawah, simbol keburukan yang tidak akan pernah lepas dari diri manusia. Umumnya dikenakan Kamen atau kain yang membalut dari pinggang sampai kaki. Yang perlu diperhatikan adalah ikatan selendang yang mengikat pinggang, haruslah kuat karena simbol bhuta tidak akan bisa memasuki tubuh manusia keatas apalagi ke dewa.

Makna Filosofis Pakaian adat
Bapak Wayan Gunarta Lebih menekankan pada Makna Filosofis Pakaian adat yaitu :a. Busana adat ke pura untuk putra Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tida ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yakni: 1). udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.udeng jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup lemabnagkan Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan amsih meminta. 2. Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.3. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
b. Busana adat ke Pura untuk putri. Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putrid kra-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya). Serta pepusungan ada tiga yaitu :1. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti2. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.3. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning, sandat sebagai lambing Tri Murti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar