Misionaris agama adalah mereka yang berperan sebagai
pedakwah atau penyebar agama yang dianut agar seseorang atau kelompok orang
tersebut memiliki kepercayaan yang sama dengannya. Mengapa Agama Hindu
dikatakan demikian? Sebenarnya Agama Hindu dahulu tidak dikategorikan agama
yang misionaris, karena Agama Hindu berjalan secara alami untuk menemukan para
penganutnya. Namun dapat pula dikatakan misionaris karena dari beberapa
sejarah, pengaruh Hindu sangat berpengaruh terhadap peradaban dunia walaupun
sekarang di dunia tidak menjadi agama mayoritas lagi, tetapi tetap diakui bahwa
Agama Hindu adalah agama yang pertama dalam peradaban dunia. Dapat kita lihat
dari sejarah perkembangan Agama Hindu, siapa yang berperan dalam penyebarannya?
Siapa saja tokoh-tokoh spiritual dalam perkembangannya? Ini tentu saja bisa
kita jawab dan kita simpulkan bahwa Agama Hindu dikatakan agama yang bersifat
misionaris. Karena didalam sejarah disebutkan beberapa tokoh yang menyebarkan
Agama Hindu di berbagai daerah.
Di
dalam sejarah penyebaran Agama Hindu, Rsi Agastya adalah sangat terkenal
jasa-jasanya dalam penyebaran agama Hindu di Indonesia. Menurut Pustaka Purana
dan Mahabharata, Rsi Agastya lahir di Kasi (Benares) sebagai penganut Siwa yang
taat. Rsi Agastya merupakan sebagai pemegang obor dan memberi penerangan suci
ke seluruh pelosok. Rsi Agastya meninggalkan kota Kasi menuju ke selatan sebagai
Dharmaduta menyebarkan Agama Hindu. Di India Selatan, Rsi Agastya dapat
menaklukkan para Asura dan oleh karena ajaran-ajaran Dharmanya dapat menjadikan
Daerah Selatan tempat perkembangannya Dharma. Kemuliaan nama Rsi Agastya
menyebar luas sampai ke India Belakang dan Indonesia sebagai penyebar agama
Hindu. Di India Belakang nama Rsi Agastya disebut dalam prasasti-prasasti.
Di
Indonesia dengan jelas disebut dalam prasasti Dinaya. Di Jawa Timur pada abad
ke 8 dibuatkan pelinggih untuk Rsi Agastya. Oleh karena kebesaran dan kesucian
Maha Rsi Agastya, maka juga disebut Bhatara Guru sebagai perwujudan Siwa di
dunia mengajarkan Dharma. Di dalam sejarah agama Hindu di Indonesia, Maha Rsi
Agastya disucikan namanya dalam prasasti-prasasti dan kesusastraaan-kesusastraan
kuno. Yang terdahulu sekali menyebut nama beliau ialah prasasti Dinaya di Jawa
Timur tahun Saka 682 di mana seorang Raja bernana Gajayana membuat pura suci
yang sangat indah untuk Maha Rsi Agastya dengan maksud untuk memohon kekuatan
suci untuk mengatasi kekuatan yang gelap. Juga di Porong (Jawa Tengah).
Prasasti tahun Saka 785 menyebutkan bahwa “Selama matahari dan bulan ada di
cakrawala dan selama dunia ini dikelilingi oleh empat Samudra, selama dunia ini
dipenuhi oleh awan, selama itu ada kepercayaan kepada Maha Rsi Agastya.”
Di
Bali didapatkan pemuliaan nama Rsi Agastya sebagai saksi dan penguat
sumpah-sumpah (Harichandana). Pemuliaan terhadap Bhatara Guru yaitu Maha Rsi
Agastya tidak hanya terbatas pada Bali, Jawa dan Lombok saja tetapi juga di
Sulawesi bagian Selatan, Kalimantan dan lain-lainnya. Mengingat usaha-usahanya
dalam Dharmayatra ini maka banyak istilah-istilah yang diberikan kepada Maha
Rsi Agastya di antaranya;
a.
Agastya
Yatra, artinya perjalanan suci yang tak mengenal kembali dalam pengabdiannya
untuk Dharma.
b.
Pita
Sagara, artinya Bapak dari Lautan, karena mengarungi lautan-lautan yang luas
demi untuk Dharma.
Dalama
perkembangan agama Hindu kedatangan seorang Rsi ke Bali yang bernama Maharsi
Markandeya. Menurut sumber-sumber berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi
Markandeya berasal dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam
Markandeya Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” yang artinya
“sang yogi Markandeya asal mulanya adalah dari India”. Namun dari data-data
yang di dapatkan nama Markandeya bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama
perguruan atau nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau
pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran dari
guru-guru sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi yang diturunkan dari generasi ke
generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya, yaitu dari guru ke
murid dan seterusnya. Garis perguruan turun temurun ini di sebut Parampara, dan
tiap-tiap parampara menyusun pokok-pokok ajarannya, dari parampara yang telah
mengangkat guru dan murid untuk melanjutkan garis perguruan ini dinamakan
Sampradaya. Dari tiap-tiap sampradaya menyusun pokok-pokok ajarannya dari
sumber-sumber yaitu, Catur Weda, Purana, Upanisad, Wedanta Sutra, dan Itihasa.
Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, namun mereka mengambilnya dari Weda
dengan tradisi turun-temurun yang sama dalam menafsirkan dan mengajarkan
pokok-pokok ajaran di dalam Weda. Demikian akhirnya, pustaka-pustaka suci
tersebut disebarkan, dimana di antaranya adalah Markandeya Purana, Garuda
Purana, Siva Purana, Vayu purana, Visnu Purana dan lain sebagainya. Bahkan dari
tiap generasi ke generasi terdapat nama diksa (inisiasi) yang sama dengan nama
pendahulunya. Jadi sang Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari garis
perguruan yang namanya sama dengan nama pendahulunya di India, beliau datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu).
Ketika
tiba di Indonesia, Maharsi Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng,
Jawa Tengah. Lalu beliau ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung
Raung, Jawa Timur. Disini Maharsi Markandeya membuka pasraman dimana beliau di
dampingi oleh murid-murid Maharsi Markandeya yang di sebut Wong Aga (orang-orang
pilihan). Beberapa tahun kemudian Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan ke
timur, tepatnya ke pulau Bali yang ketika itu masih kosong secara spiritual.
Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan
teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem irigasi,
peralatan untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan Maharsi Markandeya diiringi
oleh 800 orang murid-muridnya.
Saat
datang pertama kali ke Bali, beliau datang ke Gunung Tohlangkir. Disana Maharsi
Markandeya dan murid-muridnya merabas hutan untuk lahan pertanian, tetapi
sayangnya banyak murid-muridnya terkena penyakit aneh tanpa sebab, ada juga
yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi (macan), ada yang hilang
tanpa jejak, bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian, Maharsi Markandeya
memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung, lalu Maharsi Markandeya beryoga untuk
mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali. Akhirnya Maharsi
Markandeya mendapatkan petunjuk bahwa terjadinya bencana tersebut adalah karena
Maharsi Markandeya tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.
Setelah
mendapatkan petunjuk, Maharsi Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya
ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi
sebelum merabas hutan dan kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi
Markandeya melakukan upacara ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam
panca datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia, dan upacara Waliksumpah untuk
menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya semua
pengikut Maharsi Markandeya selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu,
Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki,
kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya
orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan.
Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau
menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih.
Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung
Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini
dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci, dan dikemudian hari
dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana
semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau
korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat
untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu daerah datar dan luas,
sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas
hutan. Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata
puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi
Subak.
Di
tempat ini beliau menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan
subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan
Sarwada yang artinya serba ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena
kehendak Tuhan lewat perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun,
kayu bahasa sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal
dengan nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar. Di
wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap
pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung, bahkan
hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan sebuah pura yang
kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di Campuan, Ubud. Pura ini
juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya Mahasri Markandeya pergi ke arah
barat dari arah Payogan dan kemudian membangun sebuah pura yang diberi nama
Pura Murwa, sedangkan wilayahnya dan sebagainya di beri nama Parahyangan
kemudian orang-orang menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat
tersebut dikenal dengan Payangan.
Orang-orang
Aga, murid-murid maha rsi markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh
beliau, mereka membaur dengan orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam
dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan
oleh Maharsi Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran orang-orang
Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini merekadikenal dengan
nama Bali Aga yang berarti pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga,
murid Maharsi Markandeya, dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima
dengan baik oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita)
orang-orang Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka
orang-orang Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
Dalam
jaman kerajaan Bali, terutama zaman Dinasti Warmadewa. Warga Bhujangga
Waisnsava selalu menjadi purohito (pendeta utama kerajaan) yang mendampingi raja,
antara lain Mpu Gawaksa yang dinobatkan oleh sang ratu Sri Adnyadewi tahun 1016
M, sebagai pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula yang memberikan
wewenang kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk melaksanakan
upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu membersihkan segala noda di
bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan bhisama kepada seluruh rakyatnya yang
berbunyi : “Kalau ada Rsi atau wiku yang meminta-minta, peminta tersebut sama
dengan pertapa, jika tidak ada orang yang memberikan derma kepada petapa itu,
bunuhlah dia dan seluruh miliknya harus diserahkan kepada pasraman. Dan apa
bila terjadi kekeruhan di kerajaan dan di dunia, harus mengadakan upacara
Tawur, Waliksumpah, Prayascita (menyucikan orang-orang yang berdosa), Numun,
orang-orang yang mengamalkan ilmu hitam haruslah sang guru Bhujangga Waisnava
yang menyucikannya, sebab sang guru Bhujangga Waisnava seperti angin, bagaikan
Bima dan Hanoman, itu sebabnya juga sang guru Bhujangga Waisnava berkewajiban
menyucikan desa, termasuk hutan, lapangan, jurang. Oleh karena sang guru
Bhujangga Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh menggunakan segala-galanya dan
dapat melenyapkan hukuman”.
Kemudian
pada masa pemerintahan Sri Raghajaya tahun 1077 M yang diangkat menjadi
purohito kerajaan adalah Mpu Andonamenang dari keluarga Bhujangga Vaisnava.
Lalu Mpu Atuk di masa pemerintahan raja Sri Sakala Indukirana tahun 1098 M,
kemudian Mpu Ceken pada masa pemerintahan raja Sri Suradipha tahun 1115 – 1119
M, kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan Sri Jayapangus tahun 1148 M.
Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang purohito raja yang diambil dari
keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya hingga masa pemerintahan Sri Dalem
Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi purohito adalah dari griya Takmung
dimana beliau melakukan kesalahan selalu acharya kerajaan yang telah mengawini
Dewi Ayu Laksmi yang tidak lain adalah putri Dalem sendiri selaku sisyanya.
Atas kesalahannya ini sang guru Bhujangga akan dihukum mati, tapi beliau segera
menghilang dan kemudian menetap di daerah Buruan dan Jatiluwih, Tabanan.
Semenjak
kejadian tersebut, dalem tidak lagi memakai purohito dari Bhujangga Waisnava.
Sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi purohito di
ambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan setelah strukturisasi
masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas persetujuan
Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan lagi sebagai warga
brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava dalam perannya sebagai
pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga
masih terlihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga,
selalu ada sebuah pelinggih sebagai sthana Bhatara Sakti Bhujangga. Alat-alat
pemujaan selalu siap pada pelinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula cukup nuhur
tirtha, tirtha apa saja, terutama tirta pengentas adalah melalui pelinggih ini.
Sampai sekarang para warga ini tidak pernah mempergunakan atau nuhur Pedanda
Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah mempersembahkan sesajen dari
daging ketika diadakan pujawali dan biasanya mereka menggunakan daun kelasih
sebagai salah satu sarana persembahan selain bunga, air, api dan buah.
Warga
Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi Markandeya sekarang sudah tersebar di
seluruh Bali, pura pedharmannya ada di sebelah timur penataran agung Besakih di
sebelah tenggara pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar
di seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten Klungkung, Batubulan, kabupaten
Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat lain di Bali.
Demikianlah
Maharsi Markandeya, leluhur Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu
pertama di Bali dan warganya hingga saat ini ada yang melaksanakan dharma
kawikon dengan gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta
keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali Mula atau penduduk asli
Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama orang-orang
Bali Aga.
Dilihat
dari sejarah yang panjang dan peranan para penyebar agama, Hindu sangatlah
agama yang bersifat misionaris. Di zaman sekarang peranan para Sulinggih dan
pemuka agama sangat penting, karena dalam melanjutkan perkembangan Agama Hindu,
mereka melakukan berbagai upaya untuk melestarikannya, seperti Dharma Wacana,
dalam pendidikan, dan lain sebagainnya. Sudah sangat yakin bahwa Agama Hindu
bersifat misionaris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar