BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Istilah kekerasan berasal dari
bahasa Latin violentia, yang berarti keganasan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, dan perkosaan (sebagaimana dikutip Arif Rohman : 2005). Tindak kekerasan, menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya, pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Walaupun tindakan tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Pada dasarnya kekerasan diartikan
sebagai perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal maupun nonverbal)
yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan
fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia,
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak
trauma psikologis bagi korban.
Kekerasan ada dalam setiap masyarakat. Kekerasan bisa fisik, bisa simbolis.
Ia bisa diterima atau diderita. Kekerasan muncul dalam rekontruksi, reproduksi
ataupun transformasi hubungan social. Sejak Negara muncul, Negara membangun
dirinya d atas kekerasan, dan Max Weber menyatakan bahwa, tindakan kekerasan
yang abssah merupakan salah satu karakteristik Negara. Ada juga pemikir
mengatakan bahwa, sebab kekerasan harus dicari dalam jiwa manusia. Di Indonesia
akhir-akhir ini konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana. Mulai dari kasus bom bali, bom kuningan, penyerbuan kampus, ahmadiyah di parung sampai
penutupan rumah ibadah kristiani di bandung jawa barat, dan orang-orang
Lampung yang beragama Islam membakar tempat suci yang dimiliki oleh masyarakat
Hindu di sana.
Di luar negeri, kekerasan atas nama agama mengambil bentuk-bentuk dalam
berbagai kejadian seperti orang-orang yahudi yang membunuh kaum muslimin yang
tengan shalat di mesjid, orang-orang hindu di india yang membakar mesjid, orang-orang islam dimesir yang meneror dan
membunuh para turis di Bangladesh.
Fenomena di atas melahirkan wacana
agama yang paradoksal dan juga bencana, karena
melahirkan fenomena-fenomena kekerasan. Meskipun
terdapat banyak pernyataan pembelaan diri khususnya dari kalangan agamawan,
bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang
kekerasan, tetapi manusia saja yang kemudian yang menyalahgunakan agama untuk
kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud kekerasan secara
umum?
2.
Bagaimana pandangan agama Hindu
terhadap kekerasan ?
3.
Bagaimana cara mengatasi kekerasan
dalam agama?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui pengertian kekerasan
secara umum.
2.
Mengetahui pandangan agama Hindu
terhadap kekerasan.
3.
Mengetahui cara mengatasi kekerasan
menurut ajaran agama Hindu.
1.4 MANFAAT
1.
Bagi mahasiswa makalah ini dapat
memberikan tambahan ilmu untuk mengendalikan jiwa yang masih labil.
2.
Bagi masyarakat umum makalah ini
dapat memberikan tambahan wawasan tentang pandangan agama Hindu terhadap
kekerasan.
3.
Bagi orang tua makalah ini dapat
memberikan pedoman didalam mendidik anak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KEKERASAN SECARA UMUM
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan,
atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan
adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap
diri sendiri,perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut
psikiater internasional, Terry E. Lawson, ada empat jenis atau bentuk kekerasan
yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional Abuse (kekerasan emosional), terjadi ketika orang tua atau pengasuh
mengabaikan anak setelah mengetahui ia meminta perhatian. Anak dibiarkan lapar
karena orang tua terlalu sibuk dan tak mau diganggu. Kebutuhan anak untuk
dipeluk dan dilindungi terabaikan. Orang tua yang secara emosional berlaku
seperti ini telah berlaku keji pada anak dan anak akan mengingat semua kekersan
emosional itu sepanjang hidupnya.
Verbal Abuse (kekerasan verbal), terjadi ketika orang tua atau pengasuh
menyuruh anak diam atau tidak menangis setelah mengetahui ia meminta sesuatu
dan meminta perhatian. Jika anak mulai bicara, orang tua terus-menerus
melakukan kekerasan verbal dan berkata kasar, seperti:”kamu bodoh!”, “dasar
cengeng, diaaamm!”. Keadaan demikian akan terekam dalam pikiran bawah sadar
anak.
Physical Abuse (kekerasan fisik), terjadi ketika orang tua atau pengasuh
memukul/menjewer/mencubit anak saat ia tidak bisa dikondisikan sesuai keinginan
orang tua atau saat anak ingin sesuatu. Kondisi seperti inipun akan membuat
anak selalu mengingat kekerasan fisik itu.
Sexual Abuse (kekerasan seksual), biasanya tidak terjadi selama 18 bulan
pertama kehidupan. Eksploitasi seksual pada anak adalah ketergantungan.
Kekerasan seksual lebih kepada pelecehan seksual pada anak.
2.2 PANDANGAN AGAMA HINDU TENTANG KEKERASAN
Munculnya bentuk-bentuk kekerasan berkedok agama telah
mencengangkan penghuni planet bumi akhir-akhir ini. Tindakan para teroris
dengan melakukan pengeboman telah mencederai nilai kemanusiaan. Perilaku mereka
telah mengusik kenyamanan dan keamanan umat manusia. Padahal, tak satu pun
agama mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan, apalagi sampai membunuh orang.
Orang-orang yang melakukan tindak kejahatan jelas mengalami kesulitan
mendapatkan ''tiket'' menuju alam mukti (alam menuju moksah). Lalu, bagaimana
pandangan Hindu tentang hal itu? Hal-hal apa saja yang mesti dikedepankan dalam
konteks hidup berdampingan satu sama lainnya?
Dalam tradisi di Bali ada istilah puputan atau perang
habis-habisan. Ketika bicara atas agama dan kepentingan daerah, perang puputan
itu harus diartikan secara kontekstual. Artinya, semua pihak harus perang
terhadap kebodohan, kemiskinan dan perang terhadap ego atau sifat keakuan.
Sebab, munculnya berbagai problem sosial seperti kekerasan, bunuh diri, karena
kita telah membiarkan sifat-sifat keakuan (ego) terlalu mengalahkan sifat-sifat
altruisme (lawan dari egoisme). Ketika melihat orang melakukan kekerasan yang
merugikan orang banyak yang tak berdosa, mestinya kita tidak melakukan tindakan
yang sama. Melainkan mendoakan agar yang bersangkutan disadarkan karena
menyalahi kaidah-kaidah kemanusiaan yang universal.
Hanya dengan berpikir seperti itu kita telah
menciptakan suasana santhi (damai), sebagai amanat ajaran agama Hindu. Dalam
Hindu orang yang melakukan kekerasan dan menyakitkan orang lain sangat
bertentangan dengan dharma. Jangankan membunuh, menyakiti orang lain dengan kata-kata
saja sudah bertentangan dengan dharma. Sebab, menyakiti orang lain sama dengan
menyakiti diri sendiri. Perilaku santhi seperti itu mesti dicontohkan oleh
mereka yang saat ini menjadi figur publik. Sebab, panutan atau teladan sangat
diperlukan dalam konteks bermasyarakat.
Dharma
mutlak dijaga, diikuti dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma
atau kebenaran wajib dilindungi dan dipatuhi. Jika umat melakukan hal itu,
sebaliknya dharmalah yang akan melindungi umat. ''Siapa yang bakti terhadap
dharma, ia akan justru mendapat anugerah dari dharma,''
Panca Pandawa berkenan melakukan perang dengan Korawa
karena menegakkan dharma. Karena menegakkan dharma, akhirnya Pandawa dilindungi
oleh dharma. Mereka diberkati kemenangan. Dharma itu mesti ditegakkan, umat
akan menghindari tindak kekerasan. Tidak menjadikan agama sebagai kedok
melakukan kekerasan, seperti perilaku para teroris yang mengacau keamanan dan
kenyamanan masyarakat. Dharma mesti ditegakkan, sehingga umat mampu menjadi
insan yang sujana.
“Siapa yang membela dharma (satyeng dharma) ia akan
mendapat pahala sekala dan niskala,”. Artinya, dalam kehidupan di dunia nyata
(sekala), kita akan mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan, kedamaian dan
sebagainya. Itulah sorga yang sekala (nyata). Selain itu mereka akan
mendapatkan hal yang sama di alam niskala berupa hita niskala atau
kesejahteraan atau ketenteraman di alam sorga. Jika orang melakukan kejahatan,
membunuh orang tanpa dosa, dan menteror orang, mereka akan menemukan ahita
sekala dan ahita niskala. Meraka akan selalu dikejar-kejar perasaan takut,
tidak berani memperlihatkan diri secara terang-terangan, waswas, tidak nyaman
dan sebagainya. Di alam yang lain, mereka tidak mendapat kunci atau tiket
menuju mukti yakni jalan menuju kelepasan atau moksa. Karena para teroris itu
asatyeng dharma, maka manusia yang lain dianggap musuh. Mereka justru mendapat
neraka sekala dan neraka niskala.
Hindu cinta damai (bahu santhih), sehingga tidak
melakukan reaksi balik (kekerasan) terhadap peristiwa kekerasan. Masyarakat
justru melakukan doa, melaksanakan ritual pecaruan, mengembangkan sikap awas
(waspada) dan menyerahkan kasus itu kepada pihak yang berwajib. Hal itu
dibuktikan ketika terjadi bom Bali I dan bom Bali II. Reaksi spirit seperti itu
perlu dilakukan dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan. Jika kekerasan dibalas
dengan kekerasan, tentu akan terjadi kekerasan lagi. Itupun sangat bertentangan
dengan ajaran ahimsa. Hindu sendiri sangat optimis bahwa orang-orang yang
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dharma, cepat atau lambat akan
mendapat pahala yang setimpal. Terbukti, orang yang melakukan pengeboman di
Bali segera ditangkap, demikian juga otak pengeboman sudah ada yang berhasil
dibinasakan.
Diungkapkan, dalam menyikapi tragedi kemanusiaan, umat
Hindu di Bali sudah secara real mengejawantahkan ajaran-ajaran Gandhi yakni
perlawanan tanpa kekerasan. Umat Hindu justru melakukan ''perlawanan'' aktif
melalui doa -- mendekatkan diri dengan Tuhan. Semua agama tidak membenarkan
orang melakukan pembunuhan. Hanya orang-orang sesatlah yang melakukan kekerasan
atas nama agama.
Gejala kekerasan, kebiadaban, kekejaman dan segala
bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan, sejatinya telah muncul setua
sejarah manusia. Perlawanan tanpa kekerasan atau dalam bahasa Mahatma Gandhi disebut sebagai paham
pantang kekerasan merupakan kekuatan paling ampuh bagi umat manusia. Paham ini
jauh paling hebat daripada senjata penghancur terhebat yang pernah diciptakan
oleh akal manusia. Paham inilah yang dikenal dengan ahimsa.
Bagi Gandhi, ahimsa tidak sekadar tidak menyakiti,
tetapi lebih dari itu. Tidak menyakiti insan mana pun, baik pikiran, ucapan
maupun tindakan. Dalam konteks menyikapi perilaku kekerasan sejatinya umat
Hindu di Bali sudah secara real mengejawantahkan ajaran-ajaran Gandhi yakni
perlawanan tanpa kekerasan. Dalam kasus bom Bali, umat Hindu di Bali justru
melakukan ''perlawanan'' aktif melalui doa yakni lebih mendekatkan diri dengan
Tuhan. Secara filosofis konsepsi Gandhi tentang masyarakat didasarkan atas
konsep bahwa manusia tidak dapat menjadi otonom ketika tidak membangun relasi
dengan manusia yang lain. Individualistis menjadi tidak berarti ketika manusia
hanya hadir dalam kesendiriannya tanpa manusia yang lain. Bangunan dasar
masyarakat yang diidealisasikan oleh Gandhi adalah masyarakat yang tanpa
kekerasan. Masyarakat tanpa kekerasan yang hendak diwujudkan Gandhi berintikan
ajaran ahimsa sebagai falsafah pantang kekerasan dan satyagraha sebagai bentuk
perjuangan tanpa kekerasan yang mendahulukan kebenaran sebagai prinsip utama
kehidupan. Bagi Gandhi, kebenaran adalah Tuhan itu sendiri. Dalam konteks
hubungan antarmanusia bermuara pada satu keyakinan bahwa semua manusia adalah
bersaudara.
2.3
MENGANTISIPASI KEKERASAN DENGAN AJARAN AGAMA
HINDU
HINDU
Agama Hindu memiliki beberapa pandangan tentang
kekerasan, yang dijadikan panutan bagi umat Hindu untuk mengantisipasi
kekerasan. Panutan-panutan ini dijabarkan didalam ajaran-ajaran suci Agama
Hindu. Diantaranya sebagai berikut:
1)
Tri Kaya Parisudha
Dalam ajaran Hindu sendiri kekerasan sama
seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa tindakan kekerasan tidak
diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan yang pasti. Konsepsi
kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut dengan “Haimsah” tidak
hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang saja tidak
diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan ajaran Trikaya Parisudha yakni : perbuatan yang benar (kayika parisudha),
pikiran yang benar (manacika parisudha), dan ucapan yang benar (wacika
parisudha). Tiga ajaran inilah yang mencakup kesempurnaan manusia apabila
ajaran ini dijalankan, maka kekerasan tidak bahwa tingkah laku seseorang dapat
dilihat dari ucapannya. Guna menigntropeksi diri, agama Hindu mengajarkan
umatnya untuk bertapa diri guna mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat
menimbulkan kekerasan.
Kekerasan boleh dilakukan apabila ada perintah
secara langsung dari Tuhan, sebagaimana dikisahkan dalam cerita Mahabarata
Yuda, yang mengharuskan Arjuna sebagai seorang ksatria yang diharuskan untuk
membunuh keluarga dan saudara-saudaranya guna menegakan kebenaran. Hal ini
bukan berarti Arjuna membunuh tanpa ada artinya, akan tetapi karma yang
mengharuskan mereka untuk saling bermusuhan bahkan sampai saling membunuh
antara Kurawa dengan Panca Pandawa. Dalam cerita ini Arjuna diperintahkan oleh
Khrisna (Tuhan itu sendiri yang ber-reinkarnasi dalam bentuk manusia) untuk
menumpas kejahatan dan demi tegaknya dharma.
Di dalam kitab agama Hindu dijelaskan bahwa
selagi dunia ini dikuasai oleh adharma (perbuatan jahat) yang terus merajalela
di dunia ini, “aku akan turun ke dunia dan menjelma sebagai manusia untuk
melebur semua perilaku angkara murka, karena perilaku angkara murka tidak akan
musnah selagi jasad manusia itu hidup”. Dalam kisah Mahabarata Yuda diatas
sangat jelas, kekerasan boleh dilakukan asalkan dengan perintah Tuhan dan
semata-mata untuk menegakan dharma. Selain itu ajaran agama Hindu tidak
memperbolehkan menggunakan kekerasan dalam hal mendidik anak, ia mengatakan
membentak atau menghardik anak dalam agama Hindu tidak diperkenankan apalagi
sampai dengan memukulnya.
2)
Tri Hita
Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang artinya tiga, “Hita”
yang artinya kebahagian, dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian
Tri Hita Karana tiga penyebab terciptanya kebahagian.
Falsafah Tri Hita Karana
memiliki konsep yang dapat keunikan ragam budaya dan lingkungan, ditengah
hantaman globalisasi dan homogenosasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita
Karana menekankan tiga hubungan
kehidupan dengan manusia di Dunia ini.
Dengan menerapkan
falsafah itu tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modrn yang
lebih mengedepankan Individualisme dan materialism yang cenderung menimbulkan
kekerasan. Membudayakan Tri Hita Karana
akan dapat mengapus pandangan yang mendorong komsumsiresme, pertikain, dan
gejolak marah. Ajaran tersebut meliputi :
Manusia dengan Tuhan (Parhyangan)
Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan atman ada dalam diri
manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan, yang menyababkan manusia
bisa hidup. Manusia berhutang nyawa pada Tuhan, oleh karena itu setiap manusia
wajib berterimakasih, berbakti, dan selalu sujud. Itu dapat dinyatakan dalam
bentuk puja dan puji terhadap kebesarannya. Dengan menjalankan ajaran
Parhyangan ini maka manusia akan dapat lebih menekatkan diri dengan Tuhan
sehingga sifat-sfat sad ripu yang dapat menimbulkan kekerasan akan dapat
dicegah.
Manusia dengan lingkungan (Palemahan)
Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu, manusia memperoleh
bahan keperluan hidup dari lingkungan, dengan demikian manusia sangat
tergantung pada lingkungan. Oleh karena itu manusia sudah berkewajiban untuk
menjaga keharmonisan di dalam lingkungan, baik itu dengan alam ataupun dengan
isinya (makhluk hidup).
Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Sebagai makhluk sosial,manusia tidak bisa hidup menyendiri. Merka memerlukan bantuan dari kerjasama
oaring lain, karena itu hubungan dengan sesama harus baik dan harmonis.
Hubungan antara sesama harus berlandaskan saling asah, asuh, asih. Yang artinya
saling menghargai, mengasihi, dan melindungi. hubungan antara keluarga dirumah
harus harmonis, dengan masyarakat juga harus harmonis. Hubungan baik ini
mnenciptakan keamanan dan kedamaian lahiar batin dan masyarakat yang aman akan
menciptakan tujuan yang tentram dan sejahtera.
3)
Tat Twam Asi
Ajaran tatwam berbunyi, “aku adalah kamu,
kamu adalah aku.”
Jika aku adalah kamu, maka aku selayaknya menyayangimu, sesayang
aku pada tubuh dan jiwaku. Sesakit aku menyakiti diriku, seperti itulah jika
aku menyakitimu. Aku tak ingin hatimu retak seperti cawan keramik terkena
goyangan gempa. Jika aku mencelamu, maka aku mencela diriku sendiri.
Mencemoohmu, sama dengan mencemoohku.
(Ajaran Tat Twam Asi
berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau
adalah aku.” Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa
berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita.
Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita
mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati
perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita,
demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.)
4)
Ahimsa dan Himsa
Perkataan Ahimsa berasal dari dua kata yaitu : “a” artinya tidak,
“himsa” artinya menyakiti, melukai, atau membunuh. Jadi, Ahimsa artinya tidak
menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan,
dan tingkah laku secara sewenang – wenang. Agama Hindu mengajarkan kepada
umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran
Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan
amat utama. Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah
artinya kebajikan ( Dharma ) yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi,
jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu adalah tidak membunuh. Namun, uraian itu
jangan ditafsirkan secara ekstrim ( kaku ) karena bisa bertentangan dengan
ajaran agama yang kita anut ( agama Hindu ). Dengan demikian kita boleh
membunuh untuk mempertahankan hidup asal tidak didorong dengan Nafsu atau Sad
Ripu yaitu : Kama ( keinginan ), Lobha ( rakus, lobha ), Krodha ( marah ), Mada
( angkuh, mabuk ), Moha ( kebingungan ), Matsarya ( iri hati ). Jadi, meskipun
ajaran Ahimsa itu berarti tidak membunuh tetapi dalam batas – batas tertentu
kita diperbolehkan membunuh. Contoh : di
dalam Kitab Slokantara disebutkan ada empat macam pembufnuhan yang diperbolehkan,
yaitu :
1. Dewa Puja : Persembahan kepada DEwa ( Dewa Yadnya )
2. Pitra Puja : Persembahan kepada Roh leluhur ( Pitra Yadnya )
3. Athiti Puja : Persembahan kepada tamu yang kita hormati
4. Dharma Wighata : kewajiban bagi
semua orang membunuh mahluk yang mengganggu atau memberi penderitaan terhadap
umat manusia.
Sedangkan mahluk yang kita persembahkan kepada
Dewa Puja, Pitra Puja, Athiti Puja, dan Dharma Wighata pun kalau untuk upacara
berarti kita menolong untuk meningkatkan jiwanya, sebab sebelum menyembelih
binatang biasanya terlebih dahulu diberi mantram yang berbunyi sebagai
berikut :
“ Om Papasayah wiwaha ceras shadayat dimahitano
jiwah pracodayat “ artinya : “Ya Tuhan saya hendak memotong hewan atau binatang
ini dengan memotong kepalanya, semoga jiwanya dapat meningkat. “
Dengan demikian sebenarnya ajaran Ahimsa itu tidak lain harus
memperhatikan dan mengendalikan tingkah lakunya agar pikiran, perkataan, dan
perbuatan tidak menyakiti orang lain atau mahluk lain. Setiap pikiran,
perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain maka disebut perbuatan
Himsa. Oleh karena itu hindari perbuatan Himsa terhadap semua mahluk. Kita
harus saling asah, asih, dan asuh terhadap sesamanya. Karena jiwatman kita sama
dengan jiwatman mahluk lain yang berasal dari satu sumber yaitu Paramaatman (
Sang Hyang Widhi ).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa agama Hindu sangat menentang kekerasan, namun
ada beberapa kekerasan yang diperbolehkan dalam agama Hindu, seperti membunuh nyamuk, bakteri, virus dan lainnya yang dianggap
merugikan umat. Untuk menanggulangi kekerasan, agama Hindu
memberikan ajaran-ajaran seperti ajaran Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana,
Tat Twam Asi, dan Ahimsa Himsa Karma.
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Beuken wim, Agama sebagai sumber kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2003.
Jalaluddin, psikologi agama. Jakarta : Grafindo. 2008
Audi Robert, Agama dan Nalar Sekuler. Yogyakarta: UII press. 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar