Sistim Kasta Di Bali
Sistim Kasta di Bali, Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia
khususnya di Bali masih mengalami polemik. Hal ini menyebabkan
ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul
karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan
Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu
agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak
(bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati
sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status
sosial, dan ekonomi.
Banyak Orang terpengaruh terhadap
propaganda pandangan orang-orang Barat tentang Kasta, padahal di Hindu
(Veda) tidak ada kasta yang ada adalah "WARNA".
Apa itu KASTA..?
Kasta, dalam Dictionary of American English
disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class
differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas
ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah
“Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan, pemisah, tembok, atau batas.
Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses
sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan
pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang
di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah
"kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta"
itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".
Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna
dalam Weda. Kasta tidak pernah ada dalam tradisi Hindu baik Zamannya Wayang
Mahabaratamaupun Zaman Majapahit. Kasta
mulai ada di India semenjak kedatangan Bangsa Arab dan Kristen, Bangsa Arab dan
Kristen terbiasa dengan perbudakan (baca Imamat,timotius dll, Juga An Nisaa, al
Mu’kminuum).
Istilah kasta dilekatkan pada agama Hindu
mulai ada semenjak Max Muller, menterjemahkan Weda kedalam Bhs Inggris. Max
Muller menterjemahkan Catur Warna sama dengan empat colour/ras. bukti kesalahan
Muller: Bagawan Wiyasa ( jawa disebut Abiyoso) berkulit hitam,hidung
lebar,bibir tebal, mata mellotot, jelas
bukan ras Arya yang berkulit terang, hidung mancung, mata biru. Kasta yang kaku
tidak pernah ada di India sebelumnya contohnya: Bambang ekalaya seorang rakyat biasa bisa menjadi
ksatrya, Radeya anak kusir kereta bisa menjadi adipati/ ksatrya, Govinda anak
gembala sapi bisa menjadi raja, Narada anak pelayan (Babu) bisa menjadi
Brahmana. Di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit seorang perampok Ken Arok, bisa
menjadi Raja, seorang pengangon kuda, Damar Wulan bisa menjadi Raja Majapahit
dengan gelar Brawijaya. di Bali kasta mulai ada semenjak runtuhnya majapahit. Setelah
kedatangan pendeta suci Danghyang Nirarta yang pindah ke bali akibat terdesak kerajaan Islam dan kemudian diangkat jadi
penasehat Raja Gelgel. Danghyang Nirarta
tiba di Bali sekitar abad 15, hamper bersamaan dengan kedatangan Portugis di
India (kerajaan Goa India jatuh ketangan Portugis th. 1511 ) dan Istilah kasta
mulai diperkenalkan di India.
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika
peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha
dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini
muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti
“berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak
bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di
atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai
komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.
Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun
penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat
berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.
Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali.
Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan
kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.
Di Bali juga unik.
Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi
dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah
belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna.
Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur
Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu
oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi
kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan
wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta.
Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu
pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna,
yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang.
Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu
sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak
menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu
Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada
suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk
merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi.
Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Yang jadi persoalan, ketika kasta
diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah
nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua
fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada
anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai
dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar
Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis
diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga
jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak
Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta
dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat
yang berkasta sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang
yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk
menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.
Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan
garis keturunan Patrinial, diantaranya:
- Kasta brahmana merupakan kasta yang
memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan
selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang
berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki
sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari
pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang
dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu
menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama
seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana,
biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki
nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan,
ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan
untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Griya".
- Kasta Ksatriya merupakan kasta yang
memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional
di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari
Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan
hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa
abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan
kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan
ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut
dengan "Puri". Sedangkan Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi
kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang
merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak
rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya
diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I
Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat
tinggalnya disebut dengan "Jero".
- Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang
mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana
masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa
dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan
Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih
menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari
kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan
Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".
KEHIDUPAN KEMASYARAKATAN KASTA
Pada jaman dahulu, kasta sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kasta di Bali mulai kental
saat masa penjajahan Belanda, sehingga penjajah dapat dengan leluasa memisahkan
raja dengan rakyatnya. Selama berabad-abad penduduk Bali telah diajari bahwa
kasta yang tinggi harus lebih dihormati, sehingga bila kita berbicara dengan
orang yang berkasta tinggi, baik lebih muda, lebih tua, atau seusia, kita harus
menggunakan bahasa bali yang halus. Tetapi bila bicara dengan orang berkasta
rendah, kita tidak diwajibkan menggunakan bahasa halus.
Misalnya ada seorang ketua organisasi
berkasta Waisya, dengan salah seorang anggotanya berkasta Brahmana. Secara
otomatis, ketua organisasi tersebut harus menggunakan kata-kata yang halus
kepada anggotanya yang berkasta brahmana tersebut. Ada juga kasus seperti
seorang guru yang memiliki kasta lebih rendah dari muridnya. Guru tersebut
harus berkata sopan kepada muridnya yang berkasta tinggi. Walau begitu, bukan
berarti sang murid dapat bertindak sewenang-wenang seperti berkata tidak sopan
terhadap gurunya.
Selain perbedaan dalam menggunakan bahasa,
kasta juga mempengaruhi tatanan upacara adat dan agama, seperti pernikahan, dan
tempat sembahyang. Pada Pura-Pura besar (seperti Pura Besakih), semua kasta
bisa sembahyang dimana saja, tetapi pada Pura-Puta tertentu yang lebih kecil,
ada pembagian tempat sembahyang antara satu kasta dengan kasta yang lain, agar
tidak tercampur.
KASTA DALAM PERNIKAHAN
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan
kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali
tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda
agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah
tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang
mempermasalahkan pernikahan beda kasta.
Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan
dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta
perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta
si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di
Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
Pernikahan beda kasta sendiri ada dua
macam, yaitu :
- Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan
beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini
biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri
mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara
otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang
istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami.
Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan
terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela
melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi.
Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada
beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi
menjaga kedudukan kasta-nya.
- Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan
beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak
perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki
yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini
terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai
"ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang
berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang
disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali
lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai
menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan
mengalami penurunan kasta.
WARNA, apakah itu?
Keterangan yang cukup menarik tentang Catur
Warna yang sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo
Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna.
Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok-
kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh "guna" yang
merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).
Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.
Di dalam Bab Karma Kanda-nya dijelaskan
bahwa dunia aktif (bergerak, bekerja) dan gerak ini disebabkan oleh guna itu
sendiri. Ada tiga macam guna dikemukakan yaitu
- Satwam, kebajikan
- Rajah, keaktifan
- Tamah, kepasifan atau masa bodoh
Sifat- sifat ini selanjutnya memberikan
pengaruh lebih luas lagi sehingga menimbulkan warna dalam kelahiran manusia di
dunia. Seseorang yang kelahirannya diwarnai oleh Guna Satwam akan menampilkan
sifat- sifat kesucian, kebajikan, dan keilmuan. Seseorang yang diwarnai oleh Guna
Rajah akan menampilkan kehidupan yang penuh kreatif, ingin berkuasa, ingin
menonjol. Berbeda dengan seseorang yang kehidupannya diwarnai oleh Guna Tamah,
akan selalu menampakkan sifat- sifat malas, bodoh, pasif, lamban dalam segala-
galanya.
Ketiga sifat ini terdapat di dalam setiap
tubuh manusia yang lahir dan masing- masing guna ini berjuang saling
mempengaruhi dalam badan manusia. Bagi mereka yang teguh iman maka Satwam
itulah yang menguasainya, sedangkan Rajah dan Tamah itu akan diatasi seluruhnya.
Sebaliknya kalau Rajah lebih kuat, maka Tamah dan Satwam itu akan
ditundukkannya. Begitu pula apabila Tamah yang berkuasa, maka Rajah dan Satwam
akan ditundukkannya. Dengan jalan seperti inilah Bhagavad-Gita
menjelaskan timbulnya garis perbedaan pembawaan seseorang yang disebut Warna
kelahiran dari kecenderungan sifat- sifat guna itu.
Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka
ke-13 ditulis:
Chatur Varnyam Maya Srishtam,
Guna Karma
Vibhagasah,
Tasya Kartaram Api Mam,
Viddhy Akartaram Avyayam
artinya:
catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut
pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah walaupun penciptanya, Aku tidak
berbuat dan mengubah diri-Ku.
Warna adalah profesi atau bidang kerja yang
dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan
derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling
melengkapi.
Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18,
48 antara lain berbunyi:
Rucam No Dhehi Brahmanesu,
Rucam Rajasu Nas
Krdhi,
Rucam Visyesu Sudresu,
Mayi Dhehi Ruca Rucam
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah
memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para
Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada
kami.
Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:
Brahmane Brahmanam, Ksatraya, Rajanyam,
Marudbhyo Vaisyam, Tapase Sudram
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah
menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para
Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.
Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian
(berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh
manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11
menyatakan:
Brahmano Asya Mukham Asid,
Bahu Rajanyah
Krtah,
Uru Tadasya Yad Vaisyah,
Padbhyam Sudro Ajayata
artinya:
Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan
Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya paha-Nya, dan Sudra
kaki-kaki-Nya.
Selanjutnya doa yang mengandung harapan
agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma yang baik terdapat
pada Yajurveda sloka 33,81:
Pravakavarnah Sucayo Vipascitah
artinya:
para Brahmana seharusnya bersinar
seperti api, bijak, dan terpelajar.
Yajurveda sloka 20,25:
Yatra Brahma Ca Ksatram Ca,
Samyancau
Caratah Saha,
Tam Lokam Punyam Prajnesam,
Yatra Devah Sahagnina
artinya:
di negara itu seharusnya
diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana dan para
Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar
melaksanakan persembahan (pengorbanan).
Bhagawata Purana
Di dalam Bhagawata Purana dan Smrti
Sarasamuçcaya pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu
warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya.
Dari perbuatan dan sifat- sifat seperti tenang, menguasai diri sendiri,
berpengetahuan suci, tulus hati, tetap hati, teguh iman kepada Hyang Widhi,
jujur adalah gambaran seseorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah
berani, termasyhur, suka memberi pengampunan, perlindungan maka mereka itulah
yang disebut Ksatrya.
Sukra Niti
Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa
keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga
Brahmana lalu lahir anak Brahmana juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka
itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat
warna itu.
|
Warna Brahmana |
Wiracarita Mahabarata
Di sini dijelaskan bahwa sifat- sifat
Brahmana ialah: jujur, suka beramal/ berderma, pemaaf, pelindung, takwa,
cenderung untuk melakukan pertapaan. Dan dijelaskan pula bahwa kelahiran anak
dari seorang Sudra yang dikatakan mempunyai sifat- sifat seperti tersebut di
atas, mereka bukanlah Sudra tetapi mereka adalah Brahmana. Tetapi seorang
keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat- sifat seperti itu, maka ia
sesungguhnya Sudra.
Dari sumber- sumber tersebut di atas kita
peroleh suatu pandangan dan pengertian yang sama mengenai Catur Warna, yaitu
merupakan pembidangan karya dan sikap mental manusia yang mewarnai
pengabdiannya dalam swadharma masing- masing. Warna itu realistis dan idealnya
semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan
kesejahteraan umat manusia.
Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara
warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan
profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Catur Warna yaitu
|
Warna Ksatria |
- Brahmana-orang-orang yang menekuni
kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang
bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang
yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
- Ksatria-orang orang yang bekerja / bergelut
di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur
negara dan pemerintahan serta rakyatnya.
Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja,
patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah
kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
- Waisya-orang
yang bergerak dibidang ekonomi,
yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih
fungsi
sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha,
pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis /
usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.
- Sudra-orang
yang bekerja mengandalkan
tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan
menjadi pelayan
atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial
sebagai pelayan,
bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai
swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung
hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.
|
Warna Waisya |
Warna dan gelar serta namanya sama sekali
tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat
statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan
fungsi dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya
kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.
Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung
masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society)
dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.
Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda, di Indonesia
sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur).
Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya
mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu :
|
Warna Sudra |
misalnya,
soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah "pengrajin/pande-besi",
Arya Kenceng Tegeh Kori contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari
kelompok "Arya" (ksatria yang berasal dari jawa masuk ke
Bali)
Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta, ini merupakan
bentuk pelecehan. Maka masyarakat Bali dan nama Hindu menjadi buruk,
banyak saudara - saudara dibali masih
salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar
Bali. mungkin karena Umat Hindu kurang mensosialisasikan secara gamblang
apa
itu wangsa/warna.
contoh :
nama saya misalnya “I Wayan Bagus”, dan leluhur saya dulu adalah Ksatria yaitu keturunan
Dalem Tarukan, apakah saya sudra??? Tentu bukan!
Karena Saya seorang Pegawai Pemerintahan bekerja mengabdikan diri pada negara.
Maka saya seorang KESATRIA - Pegawai
pemerintah (punggawa istana)
siapa itu para SUDRA ???
Para sudra adalah orang – orang yang
bekerja di swasta, buruh, konsultan dan atau orang yang digaji orang lain
karena usaha kerja kerasnya.
siapa itu para WESIA ???
Para wesiaadalah orang – orang yang Pemilik
Usaha, Bisnisman, Investor yang memiliki karyawan dan menggaji orang lain untuk
kemajuan usahanya.
siapa itu para BRAHMANA ???
Para brahmana adalah orang – orang yang
berprofesi sebagai guru, guru spiritual, pemangku (pinandita) dan Pandita
(begawan, mpu, pedanda)
Hubungan di antara golongan pada warna
hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu
tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak
membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk
mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya
sejak lahir hingga akhir hayatnya.
Sedangkan kasta merupakan penggolongan
status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana,
ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan
diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi
berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama
yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat
tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak
memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi
pada kasta yang lainnya.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini
semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara
golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai
keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka
tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
TRANSFORMASI KEKUASAAN DI BALI
Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam yaitu
- datang dari
negara (state)
- datang dari bentuk pasar bebas (free market).
Perubahan yang dikelola oleh pemerintah
berorientasi pada ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan
dari pasar bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi
pengaruhnya secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan. Jika
pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah disampaikan bagaimana
sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah mendapat pengaruh
globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam usaha pengalihan
sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai sistem warna dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin
sebagian masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali
karena selama ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya
berdasarkan kasta saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi
suatu sistem pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.
Warna adalah suatu sistem pembagian atau
pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta
atau menjalankan fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai
warna brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka
dia akan berfungsi sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai
seorang pejabat penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan
warna weisya, dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya
sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai
seseorang yang menjalankan fungsi sebagai warna sudra.
Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta
dan warna di Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat
menerima apa adanya sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi
sebagai bentuk protes sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada
yang mencoba memilahnya sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan
konsep kasta ketika pada situasi adat istiadat namun menerima sistem warna
sebagai praktek dalam kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan
permasalahan serius ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.
Salah satu pendapat yang mencoba
mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar
Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh
masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut
para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja
membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut
dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan
rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan
pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut
telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di
luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Di Bali tranformasi kekuasaan pada
masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan.
Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri sebagai penguasa
penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat Bali
merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya elit-elit baru
di masyarakat Bali.
Selain dari dominasi terhadap jabatan Pemerintahan
(Gurbernur dan Bupati), indikasi terhadap memudarnya kekuasaan Puri – puri di
bali juga bisa dilihat dari munculnya elit-elit baru yang mampu menguasai
sumber-sumber ekonomi masyarakat Bali. Dengan pengaruh globalisasi dengan
sistem kapitalismenya adanya elit baru di bidang ekonomi tersebut membuat
terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap siapa yang berkuasa, karena
dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat Karangasem maka masyarakat akan
cenderung “ikut” pada pemilik modal.
Kekacauan Sisitim kemasyarakatan antara KASTA
dan WARNA ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Konsep kasta sangat
bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan
pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung
hingga sekarang ini. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi
rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta,
yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida
Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu
pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria.
Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa
menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah
beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama
awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang
berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik,
perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini,
seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa
Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu
buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan
rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga
masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung
di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini
terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat
terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum
ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun
demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup
berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang
berkonflik.
Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya
dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma
Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah
menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah
seperti Sudra.
Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu
karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti
abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya
toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat
akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian
penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan
dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya,
siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari
keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau
Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.
Era modernisasi ikut mengubur perjalanan
kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”,
dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja.
Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke
india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta
Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di
atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi
berkaitan dengan “KASTA” yang feodal itu.
Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku
Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta
yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia
mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau
kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali.
Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa
Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta
Sudra.
Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan
banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam
pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan,
dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya
masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali
sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di
luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti
di masa lalu.
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah
menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh
memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa
berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh
ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang,
bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa
diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya
Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau
orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam
Hindu.
I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi
Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra.
Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta
masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama
depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana.
Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali
orang Sudra, wakil dan stafnya orang Kesatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak
masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.
Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna,
dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi
kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang
dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa
menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada
usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali.
Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda
(pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh
lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra).
Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu
di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya.
Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan
bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan sama sekali tidak
berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan
upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa
yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa
tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu
lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua
ciptaan Tuhan, semoga damai!